Giddens menengarai adanya tiga tahapan perkembangan yang luar biasa penting. Ketiganya terutama memengaruhi negara-negara industri, namun juga memengaruhi seluruh penjuru dunia dalam kadar yang terus meningkat. Globalisasi, tradisi, dan ketakpastian.
Berbicara globalisasi tidak hanya berbicara ekonomi dan tidak hanya berurusan dengan penciptaan sistem-sistem berskala besar, namun juga pengalaman sosial yang lokal dan personal. Sehingga setiap pilihan kita yang personal sifatnya juga dipengaruhi oleh globalisasi, bahkan hingga pilihan anak kita yang suka nonton Spongebox dan Naruto. Preferensi kita mengenai model pakaian yang kita kenakan juga tak lepas dari efek globalisasi yang tidaknya hanya berimplikasi pada tenaga kerja, namun juga pada ekosistem bumi dalam skala yang lebih besar. Bahkan kebangkitan kembali nasionalisme lokal dan peneguhan identitas-identitas lokal sebenarnya berkaitan secara langsung dengan pengaruh-pengaruh global yang ditentang, misalnya dalam kasus kita penggunaan pakaian batik.
Berbicara tradisi, bukan berarti dengan gelombang bola salju globalisasi tradisi menjadi punah, tapi muncul tatanan yang tradisinya mengalami perubahan status. Dengan begitu, tradisi harus bisa menjelaskan dirinya sendiri dan menjadi terbuka untuk dibaca, dikoreksi dan diwacanakan. Dalam konteks pakaian batik, akhirnya pakaian kita gunakan terus sebagai perlambang bahwa kita punya pakaian sendiri, pakaian lokal kita yang orisinil. Sementara diskursus di luar yang beredar, entah dihembuskan oleh siapa, entah kapitalisme atau apa, pencitraan yang dilakukan adalah bahwa menggunakan batik itu mengesankan tidak funky, tidak gaul, dan tua. Akhirnya karena termakan oleh pencitraan diskursus semacam ini, jadilah masyarakat kita memilih tren pakaian yang terkini, perempuan saya kira banyak yang menjadi korban konsumsi tren ini. Tidak berhenti di situ saja, karena batik masih diminati oleh masyarakat kita, maka muncullah globalisasi dalam konteks pembuatan batik itu. Muncullah batik printing yang kemudian membuat banyak pekerja batik asli buatan tangan menjadi dirumahkan, dengan alasan tidak efisien.
Dalam ranah sosial keagamaan, dalam konteks tradisi seperti di atas kemudian muncul post-tradisionalisme, misalnya post-tradisionalisme NU yang digagas Baso dan kawan-kawan Taswirul Afkar. NU dibaca, dikritik bahkan dipuji, itu merupakan satu konsekuensi dari semakin terbukanya akses informasi yang dibawa globalisasi. Akhirnya massa yang ada di sini menjadi gagap dan sering kali tidak siap dalam menghadapinya. Cukup berbeda dengan ormas Muhammadiyah, yang oleh Zuly Qodir sering dia sebut sebagai ormas terbesar kedua setelah NU, ormas ini cukup siap dan bersikap sangat adaptif atas perubahan yang terjadi. Bisa jadi karena yang diusung adalah semangat pembaruan dan para pengikutnya mayoritas adalah Urban. Sehingga pendidikan mereka bisa maju dan rumah sakit (PKU) ada dimana-mana.
Saya kira dalam konteks ormas di Indonesia, NU menjadi ormas yang banyak menjadi korban dari kekejaman globalisasi. Masyarakatnya yang mayoritas masyarakat rural pedesaan, petani dan PNS. Petani terus tergerus oleh kebijakan neoliberal, yang mengusung leissez-faire, yang mengandaikan bahwa petani harus berjuang sampek elek, bercocok tanam beras, tapi meskipun hasilnya bagus, tetap masih kalah dengan beras impor yang harganya pun lebih murah daripada milik petani. Belum lagi mereka harus berurusan dengan aparat pemerintah yang suka korup dalam pemberian pupuk bersubsidi, yang membuat para petani naik darah dan kebakaran jenggot lalu menyetop truk-truk pengangkut pupuk dan menjarahnya. Mereka terkepung, dan di antara jutaan petani, di situ ada ayah saya yang senantiasa tak pernah mengeluh dan sabar melihat kenyataan seperti itu. Itulah salah satu dampak globalisasi terhadap tradisi tanam di sawah. So apa yang harus dilakukan?
Kemudian terakhir, berbicara masalah ketidakpastian (uncertainty). Dalam sebuah masyarakat yang mengalami keruntuhan tradisi, individu-individu harus mulai terbiasa menyaring semua jenis informasi yang relevan dengan situasi kehidupannya dan secara teratur bertindak berdasarkan proses penyaringan tersebut. Inilah yang disebut Giddens dengan the expansion of social reflexivity. Pada masa inilah kita berada. Peralihan rezim Orba ke Reformasi merupakan satu bentuk gerusan dari globalisasi yang memicu adanya refleksivitas sosial dari masyarakat. Disiplin tubuh yang dibentuk rezim Orba sudah hancur, tapi masyarakat juga bingung harus bagaimana. Yang mereka tahu bahwa mereka tidak bisa didekte lagi dan dijadikan objek. Tuntutan akan rekonstruksi politik, akan penghapusan korupsi, sekaligus meluasnya ketidaksetiaan pada mekanisme politik lama, dalam kadar tertentu merupakan ekspresi refleksivitas sosial yang senantiasa kian meningkat.
Dalam tatanan sosial post-tradisional, individu-individunya sedikit banyak harus ikut terlibat aktif dengan dunia yang lebih luas jikalau ingin bertahan hidup di dalamnya. Harus banyak membaca, mencari informasi, lalu melakukan refleksi, itulah yang perlu dilakukan saat ini. Masyarakat grassroot bingung, mereka terkepung dari mana-mana dan semakin mengalami ketidakpastian. Taruhlah contoh, kita saat ini kita digembar-gemborkan penumpasan korupsi, tapi dedengkotnya penumpas korupsi dijebloskan ke tahanan. Masyarakat kita banyak dicekoki tontonan peristiwa pertikaian politik para ulama dan bahkan korupsinya, lalu para wakil politiknya di legislatif juga banyak yang mengecewakan. BUMN dijual, dan kebijakan-kebijakan pemerintah banyak tidak berpihak pada petani, belum lagi PHK yang juga meningkat. Mereka bingung apa yang harus dilakukan? Mereka terkepung oleh berbagai narasi absurd yang mengecewakan tersebut. Akhirnya di rapat-rapat RT yang membahas mengenai berbagai keluhan seperti itu cuma seperti ini pesannya “sudahlah, kerjakan apa yang ada saja,” sebuah refleksi yang dangkal yang bagi Giddens semakin orang sadar dan terus menerus berefleksi, maka orang semakin cerdas dalam menentukan pilihan-pilihan yang dikaburkan oleh globalisasi. Jadi masyarakat grassroot kita terkepung dari sana-sini oleh berbagai ketidakpastian, namun anehnya, penduduk negara tercinta ini menduduki peringkat teratas dalam rating negara yang penduduknya paling sumeh, suka senyum sedunia. Paradoks!!!
Berbicara globalisasi tidak hanya berbicara ekonomi dan tidak hanya berurusan dengan penciptaan sistem-sistem berskala besar, namun juga pengalaman sosial yang lokal dan personal. Sehingga setiap pilihan kita yang personal sifatnya juga dipengaruhi oleh globalisasi, bahkan hingga pilihan anak kita yang suka nonton Spongebox dan Naruto. Preferensi kita mengenai model pakaian yang kita kenakan juga tak lepas dari efek globalisasi yang tidaknya hanya berimplikasi pada tenaga kerja, namun juga pada ekosistem bumi dalam skala yang lebih besar. Bahkan kebangkitan kembali nasionalisme lokal dan peneguhan identitas-identitas lokal sebenarnya berkaitan secara langsung dengan pengaruh-pengaruh global yang ditentang, misalnya dalam kasus kita penggunaan pakaian batik.
Berbicara tradisi, bukan berarti dengan gelombang bola salju globalisasi tradisi menjadi punah, tapi muncul tatanan yang tradisinya mengalami perubahan status. Dengan begitu, tradisi harus bisa menjelaskan dirinya sendiri dan menjadi terbuka untuk dibaca, dikoreksi dan diwacanakan. Dalam konteks pakaian batik, akhirnya pakaian kita gunakan terus sebagai perlambang bahwa kita punya pakaian sendiri, pakaian lokal kita yang orisinil. Sementara diskursus di luar yang beredar, entah dihembuskan oleh siapa, entah kapitalisme atau apa, pencitraan yang dilakukan adalah bahwa menggunakan batik itu mengesankan tidak funky, tidak gaul, dan tua. Akhirnya karena termakan oleh pencitraan diskursus semacam ini, jadilah masyarakat kita memilih tren pakaian yang terkini, perempuan saya kira banyak yang menjadi korban konsumsi tren ini. Tidak berhenti di situ saja, karena batik masih diminati oleh masyarakat kita, maka muncullah globalisasi dalam konteks pembuatan batik itu. Muncullah batik printing yang kemudian membuat banyak pekerja batik asli buatan tangan menjadi dirumahkan, dengan alasan tidak efisien.
Dalam ranah sosial keagamaan, dalam konteks tradisi seperti di atas kemudian muncul post-tradisionalisme, misalnya post-tradisionalisme NU yang digagas Baso dan kawan-kawan Taswirul Afkar. NU dibaca, dikritik bahkan dipuji, itu merupakan satu konsekuensi dari semakin terbukanya akses informasi yang dibawa globalisasi. Akhirnya massa yang ada di sini menjadi gagap dan sering kali tidak siap dalam menghadapinya. Cukup berbeda dengan ormas Muhammadiyah, yang oleh Zuly Qodir sering dia sebut sebagai ormas terbesar kedua setelah NU, ormas ini cukup siap dan bersikap sangat adaptif atas perubahan yang terjadi. Bisa jadi karena yang diusung adalah semangat pembaruan dan para pengikutnya mayoritas adalah Urban. Sehingga pendidikan mereka bisa maju dan rumah sakit (PKU) ada dimana-mana.
Saya kira dalam konteks ormas di Indonesia, NU menjadi ormas yang banyak menjadi korban dari kekejaman globalisasi. Masyarakatnya yang mayoritas masyarakat rural pedesaan, petani dan PNS. Petani terus tergerus oleh kebijakan neoliberal, yang mengusung leissez-faire, yang mengandaikan bahwa petani harus berjuang sampek elek, bercocok tanam beras, tapi meskipun hasilnya bagus, tetap masih kalah dengan beras impor yang harganya pun lebih murah daripada milik petani. Belum lagi mereka harus berurusan dengan aparat pemerintah yang suka korup dalam pemberian pupuk bersubsidi, yang membuat para petani naik darah dan kebakaran jenggot lalu menyetop truk-truk pengangkut pupuk dan menjarahnya. Mereka terkepung, dan di antara jutaan petani, di situ ada ayah saya yang senantiasa tak pernah mengeluh dan sabar melihat kenyataan seperti itu. Itulah salah satu dampak globalisasi terhadap tradisi tanam di sawah. So apa yang harus dilakukan?
Kemudian terakhir, berbicara masalah ketidakpastian (uncertainty). Dalam sebuah masyarakat yang mengalami keruntuhan tradisi, individu-individu harus mulai terbiasa menyaring semua jenis informasi yang relevan dengan situasi kehidupannya dan secara teratur bertindak berdasarkan proses penyaringan tersebut. Inilah yang disebut Giddens dengan the expansion of social reflexivity. Pada masa inilah kita berada. Peralihan rezim Orba ke Reformasi merupakan satu bentuk gerusan dari globalisasi yang memicu adanya refleksivitas sosial dari masyarakat. Disiplin tubuh yang dibentuk rezim Orba sudah hancur, tapi masyarakat juga bingung harus bagaimana. Yang mereka tahu bahwa mereka tidak bisa didekte lagi dan dijadikan objek. Tuntutan akan rekonstruksi politik, akan penghapusan korupsi, sekaligus meluasnya ketidaksetiaan pada mekanisme politik lama, dalam kadar tertentu merupakan ekspresi refleksivitas sosial yang senantiasa kian meningkat.
Dalam tatanan sosial post-tradisional, individu-individunya sedikit banyak harus ikut terlibat aktif dengan dunia yang lebih luas jikalau ingin bertahan hidup di dalamnya. Harus banyak membaca, mencari informasi, lalu melakukan refleksi, itulah yang perlu dilakukan saat ini. Masyarakat grassroot bingung, mereka terkepung dari mana-mana dan semakin mengalami ketidakpastian. Taruhlah contoh, kita saat ini kita digembar-gemborkan penumpasan korupsi, tapi dedengkotnya penumpas korupsi dijebloskan ke tahanan. Masyarakat kita banyak dicekoki tontonan peristiwa pertikaian politik para ulama dan bahkan korupsinya, lalu para wakil politiknya di legislatif juga banyak yang mengecewakan. BUMN dijual, dan kebijakan-kebijakan pemerintah banyak tidak berpihak pada petani, belum lagi PHK yang juga meningkat. Mereka bingung apa yang harus dilakukan? Mereka terkepung oleh berbagai narasi absurd yang mengecewakan tersebut. Akhirnya di rapat-rapat RT yang membahas mengenai berbagai keluhan seperti itu cuma seperti ini pesannya “sudahlah, kerjakan apa yang ada saja,” sebuah refleksi yang dangkal yang bagi Giddens semakin orang sadar dan terus menerus berefleksi, maka orang semakin cerdas dalam menentukan pilihan-pilihan yang dikaburkan oleh globalisasi. Jadi masyarakat grassroot kita terkepung dari sana-sini oleh berbagai ketidakpastian, namun anehnya, penduduk negara tercinta ini menduduki peringkat teratas dalam rating negara yang penduduknya paling sumeh, suka senyum sedunia. Paradoks!!!
0 komentar:
Posting Komentar