• RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Rabu, 05 Agustus 2009

PESANTREN, BAROKAH, DAN FLU BABI

Dalam sebuah rapat temu wali santri di Ponpes Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo pada 19-07-09 lalu terdapat satu usulan dari salah satu wali santri, yakni pentingnya pesantren untuk mewaspadai flu babi. Dia menekankan “Bisa kiamat pesantren kalau kena flu babi!!” Dan usul ini disambut dengan tertawa oleh sekitar ribuan hadirin yang hadir pada saat itu. Tetapi keesokan harinya, di pesantren Zainul Hasan, yang letaknya juga di Probolinggo, tepatnya sekitar 20 KM dari Ponpes Nurul Jadid, sekitar 33 santri terkena penyakit tersebut. Saya terhenyak melihat berita itu.

Menengok Kembali Pesantren: Penyeimbangan Prinsip Barokah
Pesantren, yang sudah ada semenjak negara kita ini belum merdeka, merupakan suatu subkultur yang memang unik. Kamar-kamar yang biasanya cuma berukuran 3x3 M dihuni oleh sekitar 10-15, bahkan 40 santri. Sistim sanitasi yang juga kurang bersih sangat mungkin untuk turut berkontribusi bagi menjalarnya berbagai wabah penyakit. Di samping itu, cara hidup yang komunal, seperti kebiasaan bertukar pakaian, handuk, gayung air, bahkan sabun juga tak kalah signifikan dalam memperburuk keadaan. Kondisi seperti ini memang sangat rentan bila ada satu penyakit pandemik yang menyerang, terutama penyakit-penyakit semisal, flu, batuk, gatal-gatal, ataupun demam berdarah.
Bahkan dalam masalah air minum pun, mereka seringkali minum dengan air mentah dan bukan menggunakan gelas, tapi kadang juga gayung air yang mereka pakai juga untuk mandi. Saya sendiri pernah mengalami hal ini saat berada di pesantren pada kurun waktu 1992-1998. Pesantren memang mempunyai dunianya sendiri dalam masalah ini. Misalnya saja, ada mitos umum yang beredar di banyak pesantren bahwa seorang santri yang belum pernah terserang kudis dan gatal-gatal belumlah dianggap sebagai santri beneran. Atau santri yang minum air mentah setelah makan lalu sakit perut, itu bukanlah seorang santri!! Terdengar sangat aneh memang, tapi itulah santri dan pesantren, yang oleh Gus Dur dianggap sebagai sebuah subkultur. Hal yang aneh dari sudut pandang outsider tapi bukanlah satu hal yang asing bagi insider.
Lalu kenapa banyak santri yang terbiasa minum air mentah tapi tidak sakit perut? padahal menurut kesehatan hal itu akan menyebabkan sakit perut; dan santri kudisan, tapi biasanya sembuh dengan sendirinya, meskipun perlahan-lahan. Di sini terdapat satu kepercayaan kuat pada santri akan konsep barokah. Ya, salah satu konsep yang sangat dipegangi dan diyakini di setiap jiwa santri. Meskipun santri tahu dari tes laboratorium yang mereka lakukan di lab-lab sekolahan pesantren bahwa melalui mikroskop terlihat betapa kuman-kuman itu banyak sekali, dan bergidik saat melihatnya, tetapi toh ternyata mereka masih mau meminumnya, dan hebatnya lagi mereka tidak sakit perut. Hal serupa pula berlaku dalam hal tukar menukar pakaian, handuk mandi dan lain sebagainya. Sekali lagi, mereka percaya dengan barokah pesantren!! Dan ini dalam bahasa kita saat ini adalah sugesti, yang bisa mengalahkan banyak hal, tak terkecuali penyakit.
Namun dalam kasus flu babi ini tampaknya mulai meruntuhkan mitos barokah yang selama ini dipegang oleh santri di pesantren. Tapi bisa saja santri yang masih berpegang teguh pada prinsip barokah mengatakan bahwa penyakit ini berasal dari luar, kemudian menulari orang-orang di lingkungan pesantren, jadi bukan dari pesantren itu sendiri, dengan analogi bahwa hal ini sama dengan bila santri minum air mentah di pesantren tidak sakit perut, tapi jika minum air mentah di luar pesantren, maka si santri akan terserang sakit perut.
Sanitasi: Belajar Dari Kasus Flu Babi
Dari kasus flu babi ini, pesantren harus mampu memetik pelajaran. Bahwa pesantren sewaktu-waktu dapat terserang wabah. Pesantren harus bisa membuat kebijakan yang mendorong penerapan prinsip “an-nazhofatu minal iman” (kebersihan sebagian daripada iman), bukan hanya sekadar hafal dan ditempelkan di dinding-dinding pesantren saja, tapi juga mampu mentransformasikan hal itu pada wilayah praksis secara sadar pada tiap santri.
Membiasakan hidup sehat perlu betul-betul diperhatikan oleh para pengurus pesantren. Pada masalah kamar misalnya, perlu didesain sebuah mekanisme yang kondusif dan nyaman, dan ini masih kurang mendapat perhatian pesantren. Kemudian, masalah jamban, masih banyak pesantren yang jambannya kotor, belum lagi terlalu sedikitnya fasilitas kamar mandi. Tentu hal ini akan mempercepat penularan penyakit, jika ada salah satu santri yang terserang penyakit menular. Di dalam pesantren juga perlu ada layanan kesehatan, sehingga dapat langsung mengecek santri, jika sewaktu-waktu ada yang sakit.
Sudah saatnya pesantren melakukan pencegahan terhadap berbagai kemungkinan datang penyakit. Ya, pencegahan, bukan pengobatan. Jadi tidak perlu menunggu ada kasus santri yang sakit atau santri terkena wabah terlebih dahulu untuk untuk mengadakan atau mendirikan layanan kesehatan. Dengan demikian, segala bentuk penyakit, tidak terkecuali flu babi, dapat dicegah dan tertangani semenjak dini.
Hal ini bukan berarti mengurangi nilai dari konsep barokah, namun mencoba mendudukkan masalah barokah dalam kerangka yang lebih bisa dimengerti, jika tidak bisa dikatakan rasional. Bukankah belajar pada kyai itu juga barokah, jika dulu kita rajin tahajud lalu menjadi terus istiqomah melaksanakan saat sudah tidak nyantri lagi juga barokah. Saya kira konsep barokah perlu didudukkan kembali dalam batas-batasnya yang bisa dimengerti.

Saifuddin Zuhri Qudsy
Staf Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM-NU), DIY. Alumnus Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Sabtu, 25 Juli 2009

Oretan Sore: Di manakah Aku?

Untuk beberapa waktu, kuterdiam, terhenyak di tengah keramaian orang yang sibuk memilih-milih buku di sebuah toko. Kuperhatikan perilaku mereka, mulai dari identitas jender, gaya berpakaian, maupun umur mereka. Yang berjilbab besar, memegang dan membolak-balik buku 300 Kunci Rahmat; seorang lelaki paruh baya memegang Social Theory Today; seorang pemuda nyentrik bergaya sok aktivis memelototi Community Development; dan di pojok selatan, tampak sekilas mirip sosok feminis perempuan menikmati bacaannya dari buku Tubuhku Bukan Milikku, karya Hoigard dan Finstad.
Kubiarkan diriku berjalan mengelilingi toko buku itu dengan pikiran yang penuh dengan perang wilayah kekuasaan imaji dan nalar. Lalu kulihat pula seorang berkacamata minus tebal, tampak dari pakaiannya yang necis adalah seorang dosen atau mahasiswa pascasarjana sedang membaca satu Bab PAR di Handbook of Qualitative Research, (wah orang ini serius amat, batinku!); dan di ujung bagian timur lantai atas kulihat seorang mahasiswa yang sedang mengobok-obok dua buku, Asuransi Syariah dan Manajemen Syariah, milik si Kuat Ismanto.
Di tengah kerumunan itu aku masih saja berjuang menemukan diriku, berusaha menemukan di mana dari sekian bacaan itu aku berpijak. Ku terus saja perhatikan orang-orang yang sibuk memegangi, melihat-lihat, dan membaca meski ada yang cuma membaca cover belakangnya saja. Ya, buku-buku itu pernah aku baca semua. Tetapi aku selalu bertanya, di manakah aku, di manakah aku?

Saifuddin Zuhri Qudsy

Senin, 15 Juni 2009

Catatan Pagi Ini: Saafir

SAFIR…

by: Imam Ash-Shafiee

qala imam syafi'i fi madhi s-safari
safir tajid 'iwadhan 'amman tufariquhu
fanshab fa inna ladzidza l-'aisyi fi l-nashabi

inni ra'aitu wuqufal maai yufsiduhu
in sala thaba wa in lam yasil lam yathib

wal usudu lau la firaq l-ghabi ma iftarasat
wa sahmu lau la firaq l-qausi ma yushibi

wa l-syamsu lau waqafat fil fulki daimatan
lamallaha l-nasu min 'ajamin wa min 'arabin

MERANTAULAH …

Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Pergilah kau kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air yang diam menjadi rusak kerana diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak kan keruh menggenang

Singa tak akan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika sahaja matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tidak akan menunggu saat munculnya datang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Jika dibawa ke bandar berubah mahal jadi perhatian hartawan

[taken from http://meilana.wordpress.com/2008/05/]

Bagaimana dengan Anda

Selasa, 09 Juni 2009

Pusat pertempuran demi dominasi adalah tubuh manusia. Pandangan ini mendasari Discipline and Punish. Dalam buku ini, Foucault menjelaskan dengan sangat detail perubahan dari sistem penghukuman yang ditandai oleh eksekusi-eksekusi publik kepada sistem penghukuman yang ditandai oleh pemenjaraan. Perubahan ini, tegas Foucault, umumnya dikaitkan dengan munculnya Pencerahan (Enlightenment), ketika tuntutan-tuntutan buat hukuman yang lebih manusiawi menang. Namun, dia berpandangan bahwa perubahan tersebut bisa dijelaskan dalam terma pencarian bentuk-bentuk kontrol sosial yang lebih efisien dan lebih murah (secara politik dan ekonomi) (Discipline and Punish, hlm.78). Perubahan-perubahan ini menegaskan sebuah cara baru mengatur relasi-relasi sosial: ‘pendisiplinan’. Pendisiplinan, tegas Foucault, menginginkan ‘tubuh-tubuh yang patuh': tubuh-tubuh manusia diatur dan didisiplinkan sedemikian rupa sehingga mereka menjadi sumber tenaga kerja yang patuh, produktif, dan terlatih (ibid., hlm. 25-26, 220-221). Produksi tubuh-tubuh yang patuh dijamin oleh penjara dan lembaga-lembaga serupa penjara seperti sekolah, rumah sakit, dan pabrik-pabrik lewat strategi –strategi seperti penempatan individu ke kelas-kelas tertentu, penjadwalan kegiatan secara terperinci (time table), dan penempatan/pemasangan bentuk-bentuk pengawasan yang intens (panoptic). Strategi-strategi ini berujung pada Panopticon-nya Jeremy Bentham, sebuah bangunan melingkar di mana sel-sel disusun mengitari sebuah menara pengawas sentral (ibid., hlm. 169-170). Masyarakat kita, tegas Foucault, terserap sepenuhnya oleh bentuk-bentuk ‘panopticisme'.
‘Panopticisme’ meliputi ide-ide tentang pengawasan dan kontrol permanen melalui normalisasi. Aktivitas-aktivitas manusia diawasi dan diatur sedemikian rupa untuk menjamin bahwa mereka tunduk pada standar yang jelas dan samar dan nilai-nilai yang berkaitan dengan ‘kenormalan’.

Allahumma inni astaudi'uka ma qaraktuhu, fa'thini bihi 'inda hajati bihi

Sabtu, 06 Juni 2009

Oretan Pagi: On Foucault, Analisis Wacana

Ada 5 langkah yang disarankan oleh Kendall dan Wickham dalam menjalankan analisis wacana ala Foucault, yakni:
1. Memahami terlebih dahulu bahwa sebuah wacana adalah sebuah korpus pernyataan-pernyataan yang diorganisasikan secara teratur dan sistematis,
2. Mengidentifikasi aturan-aturan yang memproduksi pernyataan-pernyataan,
3. Mengidentifikasi aturan-aturan yang membatasi (delimit), bukan menutup (closure) apa yang bisa dikatakan,
4. Mengidentifikasi aturan-aturan yang membuka ruang bagi pernyataan-pernyataan baru,
5. Mengidentifikasi aturan-aturan yang menjamin bahwa praktik bersifat material dan diskursif secara bersamaan.

Hehehe, tapi di sini belum saya jelaskan bagaimana wacana menyebar menurut Foucault. Besok lagi yah saya jelaskan

Kamis, 04 Juni 2009

Giddens menengarai adanya tiga tahapan perkembangan yang luar biasa penting. Ketiganya terutama memengaruhi negara-negara industri, namun juga memengaruhi seluruh penjuru dunia dalam kadar yang terus meningkat. Globalisasi, tradisi, dan ketakpastian.
Berbicara globalisasi tidak hanya berbicara ekonomi dan tidak hanya berurusan dengan penciptaan sistem-sistem berskala besar, namun juga pengalaman sosial yang lokal dan personal. Sehingga setiap pilihan kita yang personal sifatnya juga dipengaruhi oleh globalisasi, bahkan hingga pilihan anak kita yang suka nonton Spongebox dan Naruto. Preferensi kita mengenai model pakaian yang kita kenakan juga tak lepas dari efek globalisasi yang tidaknya hanya berimplikasi pada tenaga kerja, namun juga pada ekosistem bumi dalam skala yang lebih besar. Bahkan kebangkitan kembali nasionalisme lokal dan peneguhan identitas-identitas lokal sebenarnya berkaitan secara langsung dengan pengaruh-pengaruh global yang ditentang, misalnya dalam kasus kita penggunaan pakaian batik.
Berbicara tradisi, bukan berarti dengan gelombang bola salju globalisasi tradisi menjadi punah, tapi muncul tatanan yang tradisinya mengalami perubahan status. Dengan begitu, tradisi harus bisa menjelaskan dirinya sendiri dan menjadi terbuka untuk dibaca, dikoreksi dan diwacanakan. Dalam konteks pakaian batik, akhirnya pakaian kita gunakan terus sebagai perlambang bahwa kita punya pakaian sendiri, pakaian lokal kita yang orisinil. Sementara diskursus di luar yang beredar, entah dihembuskan oleh siapa, entah kapitalisme atau apa, pencitraan yang dilakukan adalah bahwa menggunakan batik itu mengesankan tidak funky, tidak gaul, dan tua. Akhirnya karena termakan oleh pencitraan diskursus semacam ini, jadilah masyarakat kita memilih tren pakaian yang terkini, perempuan saya kira banyak yang menjadi korban konsumsi tren ini. Tidak berhenti di situ saja, karena batik masih diminati oleh masyarakat kita, maka muncullah globalisasi dalam konteks pembuatan batik itu. Muncullah batik printing yang kemudian membuat banyak pekerja batik asli buatan tangan menjadi dirumahkan, dengan alasan tidak efisien.
Dalam ranah sosial keagamaan, dalam konteks tradisi seperti di atas kemudian muncul post-tradisionalisme, misalnya post-tradisionalisme NU yang digagas Baso dan kawan-kawan Taswirul Afkar. NU dibaca, dikritik bahkan dipuji, itu merupakan satu konsekuensi dari semakin terbukanya akses informasi yang dibawa globalisasi. Akhirnya massa yang ada di sini menjadi gagap dan sering kali tidak siap dalam menghadapinya. Cukup berbeda dengan ormas Muhammadiyah, yang oleh Zuly Qodir sering dia sebut sebagai ormas terbesar kedua setelah NU, ormas ini cukup siap dan bersikap sangat adaptif atas perubahan yang terjadi. Bisa jadi karena yang diusung adalah semangat pembaruan dan para pengikutnya mayoritas adalah Urban. Sehingga pendidikan mereka bisa maju dan rumah sakit (PKU) ada dimana-mana.
Saya kira dalam konteks ormas di Indonesia, NU menjadi ormas yang banyak menjadi korban dari kekejaman globalisasi. Masyarakatnya yang mayoritas masyarakat rural pedesaan, petani dan PNS. Petani terus tergerus oleh kebijakan neoliberal, yang mengusung leissez-faire, yang mengandaikan bahwa petani harus berjuang sampek elek, bercocok tanam beras, tapi meskipun hasilnya bagus, tetap masih kalah dengan beras impor yang harganya pun lebih murah daripada milik petani. Belum lagi mereka harus berurusan dengan aparat pemerintah yang suka korup dalam pemberian pupuk bersubsidi, yang membuat para petani naik darah dan kebakaran jenggot lalu menyetop truk-truk pengangkut pupuk dan menjarahnya. Mereka terkepung, dan di antara jutaan petani, di situ ada ayah saya yang senantiasa tak pernah mengeluh dan sabar melihat kenyataan seperti itu. Itulah salah satu dampak globalisasi terhadap tradisi tanam di sawah. So apa yang harus dilakukan?
Kemudian terakhir, berbicara masalah ketidakpastian (uncertainty). Dalam sebuah masyarakat yang mengalami keruntuhan tradisi, individu-individu harus mulai terbiasa menyaring semua jenis informasi yang relevan dengan situasi kehidupannya dan secara teratur bertindak berdasarkan proses penyaringan tersebut. Inilah yang disebut Giddens dengan the expansion of social reflexivity. Pada masa inilah kita berada. Peralihan rezim Orba ke Reformasi merupakan satu bentuk gerusan dari globalisasi yang memicu adanya refleksivitas sosial dari masyarakat. Disiplin tubuh yang dibentuk rezim Orba sudah hancur, tapi masyarakat juga bingung harus bagaimana. Yang mereka tahu bahwa mereka tidak bisa didekte lagi dan dijadikan objek. Tuntutan akan rekonstruksi politik, akan penghapusan korupsi, sekaligus meluasnya ketidaksetiaan pada mekanisme politik lama, dalam kadar tertentu merupakan ekspresi refleksivitas sosial yang senantiasa kian meningkat.
Dalam tatanan sosial post-tradisional, individu-individunya sedikit banyak harus ikut terlibat aktif dengan dunia yang lebih luas jikalau ingin bertahan hidup di dalamnya. Harus banyak membaca, mencari informasi, lalu melakukan refleksi, itulah yang perlu dilakukan saat ini. Masyarakat grassroot bingung, mereka terkepung dari mana-mana dan semakin mengalami ketidakpastian. Taruhlah contoh, kita saat ini kita digembar-gemborkan penumpasan korupsi, tapi dedengkotnya penumpas korupsi dijebloskan ke tahanan. Masyarakat kita banyak dicekoki tontonan peristiwa pertikaian politik para ulama dan bahkan korupsinya, lalu para wakil politiknya di legislatif juga banyak yang mengecewakan. BUMN dijual, dan kebijakan-kebijakan pemerintah banyak tidak berpihak pada petani, belum lagi PHK yang juga meningkat. Mereka bingung apa yang harus dilakukan? Mereka terkepung oleh berbagai narasi absurd yang mengecewakan tersebut. Akhirnya di rapat-rapat RT yang membahas mengenai berbagai keluhan seperti itu cuma seperti ini pesannya “sudahlah, kerjakan apa yang ada saja,” sebuah refleksi yang dangkal yang bagi Giddens semakin orang sadar dan terus menerus berefleksi, maka orang semakin cerdas dalam menentukan pilihan-pilihan yang dikaburkan oleh globalisasi. Jadi masyarakat grassroot kita terkepung dari sana-sini oleh berbagai ketidakpastian, namun anehnya, penduduk negara tercinta ini menduduki peringkat teratas dalam rating negara yang penduduknya paling sumeh, suka senyum sedunia. Paradoks!!!

Oretan Pagi Ini: On Giddens: Beyond Left and Right

Kata Giddens, semakin luas persebaran kapitalisme dan demokrasi, maka semakin subur Konservatisme Kuno melahirkan radikalisme —namun fakta ini, harus diingat, merupakan radikalisme bentukan-baru, yang selalu melongok ke masa silam. Hal ini pula kiranya yang terjadi pada ormas salafi seperti HTI, MMI. Dan saya kira NU merupakan sintetis yang memadukan tradisi dan modernitas di tengah meluasnya demokrasi Indonesia. Konsep al-muhafadzah ‘ala al-qadimish shalih wal akhdu bil jadidi al-ashlah memainkan peranan penting dalam menjaga NU.

Oretan Pagi Ini: On Giddens: Beyond Left and Right