• RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Rabu, 20 Maret 2013

renungan

Selasa, 15 Maret 2011

Alamat Media Cetak dan Elektronik

Ini alamat Media bagi siapa saja yang punya tulisan
1. ANTARA
Wisma ANTARA Lt 19-20,
Jl Medan Merdeka Selatan No. 17, Jakarta 10110
Telp. (021) 3459173, 3802383, 3812043, 3814268.
Fax. (021) 3840907, 3865577
Email : redaksi@antara.co.id,
letter@antara.co.id,
newsroom@antara.co.id

2. BERITA KOTA
Delta Building Blok A 44-45,
Jl Suryopranoto No 1 – 9 Jakpus 10160.
Telp. (021) 3803115.
Fax. (021) 3808721
Email : berikot@biz.net.id

3. BISNIS INDONESIA
Wisma Bisnis Indonesia, Lt 5 – 8,
Jl. KH Mas Masyur No. 12 A Jakpus 10220
Telp. (021) 57901023.
Fax. (021) 57901025
Email : redaksi@bisnis.co.id.
SMS : 021-70642362

4. DETIK.COM
Aldevco Octagon Building - Lantai 2
Jl. Warung Buncit Raya No.75, Jakarta Selatan 12740
Telp. (021) 794.1177.
Fax. (021) 794.4472
Email : redaksi@staff.detik.com

5. HARIAN TERBIT
Jl. Pulogadung No. 15,
Kawasan Industri Jaktim 13920.
Telp. (021) 4603970.
Fax. (021) 4603970
Email : terbit@harianterbit.com.
Sms Korupsi : 0817-9124842

6. SENTANA
Jl. Rawa Teratai II/6, Kawasan Industri
Pulo Gadung, Jakarta Timur 13930.
Telp. (021) 4618318
Fax. (021) 4609079
Email : redaksi_sentara@plasa.com,
harianumumsentana@yahoo.com

7. INDOPOS
Gedung Graha Pena Indopos,
Jl Kebayoran Lama No 12 Jakarta.
Telp. (021) 53699556.
Fax. (021) 5332234
Email : editor@indpos.co.id,
indopos@jawapos.co.id.
Sms Anti Korupsi : 08121945429

8. INVESTOR DAILY
Jl. Padang No. 21 Manggarai, Jakarta Selatan.
Telp. (021) 8311326-27,
Fax. (021) 8310939
Email : koraninvestor@investor.co.id

9. KOMPAS
Jl. Palmerah Selatan No. 26-28, Jakarta 10270
Telp. (021) 5347710/20/30, 5302200.
Fax. (021) 5492685
Email : kompas@kompas.com.com

10. KORAN TEMPO
Kebayoran Centre Blok A11-A15,
Jl. Kebayoran Baru Mayestik, Jakarta 12240
Telp. (021) 7255625.
Fax. (021) 7255645, 7255650
Email : koran@tempo.co.id,
interaktif@tempo.co.id

11. MEDIA INDONESIA
Kompleks Deta Kedoya,
Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Jakarta Barat.
Telp. (021) 5812088.
Fax. (021) 5812102, 5812105
Email : redaksi@mediaindonesia.co.id,
Opini : redaksimedia@yahoo.com

12. NON’STOP
Graha Pena, Lt 8 – 9,
Jl. Kebayoran Lama No. 12 Jaksel 12210
Telp. (021) 53699507 ext 20 & 40.
Fax. (021) 53671716, 5333156

13. POS KOTA
Jl. Gajahmada No. 100 Jakarta 11180
Telp. (021) 6334702.
Fax. (021) 6340341, 6340252
Email : redaksi@harianposkota.com

14. RAKYAT MERDEKA
Gedung Graha Pena Lt 8,
Jl. Kebayoran Lama No 12 Jaksel 12210Telp.
(021) 53699507.
Fax. (021) 53671716, 5333156
Email : redaksi@rakyatmerdeka.co.id.
Sms Rakyat Merdeka : 0818167256
Email : dprm_online@plasa.com
BISNIS HARIAN
Telp. (021) 53699534.
Fax. (021) 53699534
Email. : bisnisharian@yahoo.com

15. REPUBLIKA
Jl Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510
Telp. (021) 7803747.
Fax. (021) 7983623
Email : sekretariat@republika.co.id

16. SEPUTAR INDONESIA
Menara Kebon Sirih Lt. 22
,Jl. Kebon Sirih Raya No. 17-19 Jakarta 10340.
Telp. (021) 3929758.
Fax. (021) 3929758, 3927721
Email : redaksi@seputar-indonesia.com.
SMS Sindo : 08888010000

17. SINAR HARAPAN
Jl. Raden Saleh No. 1B-1D Cikini, Jakarta Pusat 10430
Telp. (021) 3913880.
Fax. (021) 3153581
Email : redaksi@sinarharapan.co.id,
info@sinarharapan.co.id, opinish@sinarharapan.co.id

18. SUARA KARYA
Jalan Bangka Raya No 2 Kebayoran Baru Jakarta 12720
Telp. (021) 7191352 dan 7192656.
Fax. (021) 71790746
Email : redaksi@suarakarya-online.com

19. SUARA PEMBARUAN
Jl. Dewi Sartika 136 D Jakarta 13630
Telp. (021) 8014077, 8007988.
Fax. (021) 8007262, 8016131
Email : koransp@suarapembaruan.com.
Sms Forum Warga : 0811130165
E : komentarsp@suarapembaruan.com

20. THE JAKARTA POST
Jl. Palmerah Selatan 15, Jakarta 10270, Indonesia
Telp. (021) 5300476, 5300478.
Fax. (021) 5492685
Email : editorial@thejakartapost.com

21. WARTA KOTA
Jl. Hayam Wuruk 122 Jakarta 11180
Telp. (021) 2600818. Fax. (021) 6266023
Email : mailto:warkot@indomedia.com,
Sms Curhat : 081585490313
Sms Unek-Unek : 081514302389
Sms Kate Aye : 081584317364

22. KCM,
Fax. (021) 5360678,
kcm@kompas.com

23. FORUM KEADILAN
Jl. Palmerah Barat No 23C,
Jakarta Barat 12210
Telp. (021) 53670832.
Fax. (021) 53670832
Email : redaksi@forum.co.id

24. GATRA
Gedung Gatra,
Jl. Kalibata Timur IV No. 15 Jakarta 12740
Telp. (021) 7973535.
Fax. (021) 79196941 - 42
Email : redaksi@gatra.com

25. INVESTOR
Jl. Padang No. 21 Manggarai Jakarta 12970.
Telp. (021) 8280000.
Fax. : (021) 8311329, 83702249
Email : redaksi@investor.co.id

26. KONTAN
Gedung Kontan,
Jl. Kebayoran Lama No 1119 Jakarta 12210.
Telp. (021) 5357636.
Fax. (021) 5357633
Email : red@kontan-online.com

27. PROSPEKTIF
Gedung Teja Buana Lt.2,
Jl Menteng Raya No 29 Jakarta 10340
Telp. (021) 3101427.
Fax. (021) 3102310
Email : info@prospektif.com

28. SWA
Jl. Taman Tanah Abang III/23
Jakarta Pusat 10160
Telp. 3523839.
Fax. (021) 3457338, 3853759
Email : swaredaksi@cbn.net.id

29. TEMPO
Jl. Proklamasi No. 72 Jakarta 10320
Telp. (021) 3916160.
Fax. (021) 3921947
Email : tempo@tempo.co.id

30. TRUST
Jl. KH Wahid Hasyim No. 24 Menteng,
Jakarta 10350
Telp. (021) 3146061.
Fax. (021) 31464111
Email : redaksi@majalahtrust.com

31. WARTA EKONOMI
Gedung Warta, Jl Kramat IV No. 11 Jakarta 10430
Telp. (021) 3153731. Fax. (021) 3153732
Email : redaksi@wartaekonomi.com

32. LAMPUNG POST
Jl. Soekarno Hatta 108 Rajabasa Bandar Lampung
Email : redaksilampost@yahoo.com

33. RADAR LAMPUNG
Jl. Sultang Agung 18 Kedaton Bandar Lampung
Email : radar@lampung.wasantara.net.id

34. SUARA MERDEKA
Jl. Raya Kaligawe KM.5 Semarang
Email : humainia@yahoo.com

35. WAWASAN
Jl. Pandanaran II / 10 Semarang 50241
Email : redaksi@wawasan.co.id

36. BERNAS(Mimbar Bebas)
Jl. IKIP PGRI Sono SewuYogyakarta 55162
Email : bernasjogja@yahoo.com

37. KEDAULATAN RAKYAT
Jl. P. Mangkubumi 40-42 Yogyakarta
Email : redaksi@kr.co.id

38. JAWA POS
Gedung Graha PenaJl. Ahmad Yani 88 Surabaya 60234
Email :

39. PONTIANAK POS
Email : mailto:redaksi@pontianakpost.com

41. PIKIRAN RAKYAT.
Email : rmailto:redaksi@pikiran-rakyat.com

42. KALTIM POST
Email : redaksi@kaltimpost.net

43. BALI POST
Email : balipost@indo.net.id

46. SOLO POS
Griya Solo PosJl. Adi Sucipto 190 Solo
Email : redaksi@solopos.net

47. SURYA
Jl. Margorejo Indah D-108 Surabaya
Email : surya1@padinet.com

48. SRIWIJAYA POST
Jl. Jend Basuki Rahmat 1608 BCD Palembang 30129
Email : sripo@mdp.net.id

49. RIAU POS
Jl. Raya Pekanbaru Bangkinang KM 1,5
Email : redaksi@riaupos.co.id

50. BANJARMASIN POST
Gedung Palimasan Jl. Mt. Haryono 143/54Banjarmasin, Kalsel
Email : bpost@indomedia.com

51. MANADO POST
Email : mdopost@mdo.mega.net.id

Kronologis Bom Buku Ulil (15/03/2011)

Kronologis Bom Buku Ulil 2011 Utan Kayu (Kumpulan Foto) Paket Bom Buku Ulil Meledak Tangan Polisi Putus. Sebuah paket bom berisi buku meledak di kantor Sekretariat Utan Kayu yang juga Kantor Berita Radio (KBR) 68H. Paket tersebut ditujukan untuk pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla.

Saat dibuka, buku tersebut meledak. Tiga orang polisi terluka. Korban paling parah yakni Kasat Reskrim Polres Jakarta Timur Kompol Dodi Rahmawan.

Berikut kronologis meledaknya paket bom buku Ulil di Utan Kayu 2011 tersebut.

*Paket dikirim ke Sekretariat Utan Kayu oleh seorang kurir laki-laki pukul 10.00 WIB. Paket ditujukan untuk Ulil Abshar Abdalla.

*Paket lalu disimpan di tempat penerimaan tamu.

*Sekitar pukul 14.00, pengurus Utan Kayu mencoba membuka paket tersebut. Isinya buku berjudul 'Mereka Harus Dibunuh Karena Dosa-Dosa Mereka Terhadap Islam dan Kaum Muslimin'

*Saat dibuka, buku sulit dibuka. Terlihat kabel-kabel mencurigakan.

*Pengelola Utan Kayu lalu memanggil petugas keamanan. Setelah dites metal detector, buku tersebut terdeteksi berisi bahan berbahaya.

*Pengurus Utan Kayu lalu menelepon kepolisian.

*Pukul 15.30 WIB, petugas kepolisian datang. Yakni dari Polsek Matraman dan salah satunya Kasat Reskrim Polres Jakarta Timur Kompol Dodi Rahmawan.

*Paket buku lalu di bawa ke halaman kantor Utan Kayu.

*Polisi pun lalu menyiram buku tersebut dengan air dari selang warna oranye yang berada di halaman.

*Kasat Reskrim Kompol Dodi Rahmawan berusaha membuka paket buku tersebut dengan pisau sambil air terus menyiram buku tersebut.

*Cover buku pun lalu dirobek Kompol Dodi dengan pisau dan tangan kirinya merobek. Di bagian tengah buku setebal 412 halaman tersebut terlihat berlubang.

*Saat terlihat isinya, baterai terlihat paling luar. Kompol Dodi yang posisi jongkok langsung menarik baterai.

*Bom pun meledak.

*Kompol Dodi dan dua polisi yang berusaha membuka paket terluka.

*Pergelangan tangan Kompol Dodi terlihat putus dengan darah berceceran. Dua polisi yang berjaga di sekitarnya terpental dan terluka. Dua polisi yakni AKP Karliman dan Rahmad. tribunnews.com

Sabtu, 12 Februari 2011

Ahmadiyah di Indonesia

Membaca artikel ini mengajak kita untuk mengerti bagaimana sejarah Ahmadiyah di Indonesia pra kemerdekaan, bagaimana sikap Soekarno atas Ahmadiyah serta bagaimana pula oleh sebagian kalangan dia dianggap sebagai kelompok yang sesat ini. Selamat menikmati!



Ahmadiyah di Indonesia
Jumat, 11 Februari 2011 - 22:23:43 WIB

Sukarno merangkulnya, Gus Dur membebaskannya dan MUI mengharamkannya.

SEORANG lelaki telungkup bersimbah darah. Sekarat tak berdaya. Seperti belum puas, beberapa orang beringas yang berdiri mengelilinginya memukulkan lagi sebilah bambu. Plak!! Sebuah pukulan mengenai bagian belakang kepala lelaki malang itu sekaligus mengakhiri riwayat hidupnya. Pekik takbir terus menggema, merayakan kematiannya. Adegan itu tampak dari sebuah tayangan video insiden berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten (6/2) lalu dan sekaligus terparah semenjak tiga tahun terakhir.

Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.

Ahmadiyah berhasil meraih pengikut dari kalangan terdidik yang bisa dengan cepat menerima ajarah Mirza Ghulam Ahmad. Namun demikian masuknya Ahmadiyah ke Indonesia menuai respons dari beberapa kalangan. Perdebatan pun terjadi di mana-mana. Sebagian kelompok muslim lain menganggap pengikut Ahmadiyah sesat karena mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang sama artinya menafikan bahwa Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.

Kontroversi keberadaan Ahmadiyah tak serta-merta berakhir dengan kekerasan. Perbedaan pendapat dan penafsiran itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek. Pada 28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka untuk membahas Ahmadiyah. Ada sekira 10 organisasi yang hadir antara lain Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan itu menarik minat masyarakat sehingga gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang antusias. Sejumlah suratkabar ternama seperti Sipatahunan, Sin Po, Pemandangan dan Bintang Timur meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi ahli Islam, datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya acara.

Acara debat itu dihadiri oleh Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang mewakili Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite Munazarah ditunjuk sebagai moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator mengumumkan peraturan kepada para penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat, meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara, khususnya dari perwakilan Ahmadiyah.

Baik pada malam pertama dan kedua panelis mengajukan argumennya masing-masing. Ahmad Hassan mempertanyakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub pun mengajukan argumentasi untuk mendukung pendiriannya di Ahmadiyah. Acara pada malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton. Karena sejak awal moderator telah mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan, acara debat pun berakhir damai. Kendati para panelis berkeras pada pendiriannya, tak ada yang saling memaksa untuk mengubah pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun sempat digosipkan sebagai pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip miring itu adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politiek Inlichtingen Dients) yang bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di pengasingannya di Ende. Untuk menepis sassus itu, pada 25 November 1935 Sukarno menulis sebuah artikel berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi”.

Dalam artikelnya itu Sukarno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah. “Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu.”

Sukarno menampik keras tuduhan itu. Dia lebih suka disebut sebagai penganut Islam yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. “Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk makingvan den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu.”

Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal “pengeramatan” yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi yang terbangun antara Sukarno dengan Ahmadiyah bisa dilihat dari selembar foto di mana dia tampak berbicara santai dengan dua tokoh Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz Quadratullah pada resepsi perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.

Menurut Iskandar Zulkarnain, penulis buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, tiga tahun setelah pertemuan itu, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang pengesahan jamaah Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tercantum dalam ketetapan menteri tanggal 13 Maret 1953 No. JA.5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 22, 31 Maret 1953. Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara No. 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia.

Keputusan itu merupakan pengakuan pemerintah terhadap eksistensi warga Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia. Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Ahmadiyah sebagai organisasi yang memilki hak dan kewajiban yang setara dengan organisasi keagamaan lainnya. Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah sekaligus wajib menaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.

Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni 1980 memfatwa bahwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun pada era Orde Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar tindak kekerasan yang menyerang warga Ahmadiyah.

Dari Ensiklopedi Islam yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang diketuai Prof Dr Harun Nasution disebutkan bahwa kedua golongan Ahmadiyah itu tetap percaya penuh pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga disebutkan beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir dan Takdir-Nya. Masih dari Ensiklopedi Islam, sebagaimana dikutip dari buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, kedua golongan Ahmadiyah itu percaya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Khatamul Anbiya (nabi penutup). “Namun”, demikian Harun Nasution dan Tim Penyusun, “Mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syari’at. Sementara itu nabi-nabi yang tidak membawa syari’at masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad SAW. Rupanya itulah pangkal perselisihan yang tak kunjung usai.

Perselisihan penafsiran itu sempat berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde Lama. Pelaku kekerasannya tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang anggota Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh pemerintah dengan tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962. Selanjutnya pada masa Orde Lama Ahmadiyah relatif bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang tanpa gangguan kekerasan.

Di era pemerintah Gus Dur jamaah Ahmadiyah semakin menemukan momentum kebebasannya. Presiden yang terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu membuka keran kebebasan berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa takut mengalami kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas Ahmadiyah pun diselenggarakan di kampus-kampus, seperti yang pernah diselenggarakan pada 24 Juli 2000 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pada hari-hari terakhir ini Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas berjatuhan. Beberapa kelompok memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu di antara dua pilihan: membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas. [BONNIE TRIYANA]

Dikutip dari http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-423-ahmadiyah-di-indonesia.html

Kamis, 27 Januari 2011

2012; Saatnya Presiden Gay Di Amerika?

Suatu kali Jimmy Carter, mantan presiden Amerika ditanya tentang kemungkinan Amerika memilih seorang presiden gay. Carter menukas, "Saya tidak tahu tentang pemilu berikutnya, tapi saya pikir dalam waktu dekat ini." Carter berpendapat bahwa karena negara itu telah memilih seorang presiden Afrika-Amerika dua tahun yang lalu, maka presiden perempuan, dan presiden gay adalah terbuka. Maka, perkenalkanlah Fred Karger, seorang konsultan politik yang berbasis di California dan aktivis yang menyebut Ronald Reagan, George W Bush dan Gerald Ford sebagai klien-kliennya. Sekarang untuk pertama kalinya, Karger adalah kandidat. "Aku tidak pernah mencalonkan diri untuk jabatan sebelumnya," katanya kepada The Daily Caller. "Tidak untuk dewan mahasiswa atau apapun."

April lalu ia mengumumkan rencana untuk menjadi seorang presiden sebuah komite eksplorasi, dan dalam beberapa bulan terakhir, dia bepergian tanpa lelah ke seluruh negeri, dengan tetap tinggal di Iowa dan New Hampshire.

Lahir dan dibesarkan di pinggiran kota Chicago, Illinois, minat Karger dalam politik dimulai pada umur 14 tahun ketika ia menawarkan diri untuk bekerja sukarela pada kampanye di seluruh negara bagian.

Saat itulah ia berkembang. Tapi setelah tahu Karger ternyata seorang gay, datanglah masa sulit dalam politik Karger. Ia sempat singgah di Hollywood sebagai aktor seliwat pada pertengahan 1970-an.

Karger sekarang ini tengah memperjuangkan California’s Prop 8 yang melegalkan perkawinan gay. Dia memimpin tuduhan terhadap keterlibatan Gereja Mormon, mengungkapkan sejauh mana gereja itu secara finansial mendukung kampanye Prop 8. Akibatnya, gereja itu harus membayar denda $ 5.000.

Jelang pemilihan presiden 2012, Karger melakukan segalanya untuk menjadi kandidat. Hanya ada dua masalah, salah satunya direfleksikan melalui slogan kampanyenya "Fred Siapa?" Satunya lagi justru isu yang paling dihindari kaum Republikan, dimana ia didukung.

Selain platform hak gay-nya, Karger berharap itu akan membuatnya berbeda dari kandidat lainnya di 2012. Ketika sebagian besar Partai Republik mencela pemerintah, pajak besar dan menempatkan dirinya di tengah-tengahnya, mendukung legalisasi ganja untuk keperluan medis dan membuat peraturan kepemiilikan senjata umum. Ia menyebut dirinya sebagai "Republik Independen."

"Saya seorang individu independen," kata Karger. "Saya mendukung Partai Republik dan Demokrat. Posisi saya lebih independen daripada partai, tapi saya ingin mengirim pesan kepada pemilih di New Hampshire dan Iowa yang independen, bahwa kita ini semua sama."

Sepertinya sudah jelas bahwa karger akan mengikuti jejak Reagan, tetapi juga ia tahu bahwa ia mendapatkan dukungan Partai Republik dan Independen.

Jadi, kapan kiranya ia akan secara resmi mengumumkan kandidat pencalonan presidennya? Karger tidak akan memberikan tanggal pastinya, tetapi jika dia berencana berpartisipasi dalam salah satu debat presiden, maka waktunya akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Debat pertama dijadwalkan awal Mei di Perpustakaan Reagan.

Rakyat Amerika mungkin siap atau mungkin tidak siap untuk seorang presiden gay, tetapi mereka mungkin tidak memiliki pilihan ketika seorang calon gay menawarkan diri. Kehadiran Karger di arena Republik pada 2012 berarti masalah hak gay tidak akan pergi kemana-mana dalam waktu dekat. (sa/yahoonews)

Minggu, 28 November 2010

MAKKAH PRA ISLAM

Saifuddin Zuhri Qudsy

A. Pendahuluan
Pada kesempatan kali saya tidak akan membahas banyak hal yang berkaitan dengan Arab pra Islam, hal ini dikarenakan peradaban Arab pra Islam sebenarnya sudah terbangun mapan jauh sebelum Islam lahir. Lihat saja Mesopotamia Kuno (Ira Lapidus, 1999: 5), yang sudah terbentuk secara mapan pada 2400 SM. Meskipun jaraknya sekitar 2000 KM dari Makkah, Mesopotamia (yang sekarang disebut Irak) sudah memiliki peradaban yang sangat maju, dan ini masuk pada daratan Jazirah Arabia). Pada kesempatan ini saya akan mengulas masalah Makkah Pra Islam, yang akan saya batasi pada pembahasan pada posisi geografis, tatanan politik, budaya (tradisi-tradisi), dan agama. Kemudian, di samping akan membatasi penjelasan Arab Pra Islam pada Makkah, saya juga akan lebih fokus pada Makkah ketika dipegang oleh suku Quraisy.
Memang penduduk Makkah telah mengenal tentang pembagian kekuasaan sejak dulu. Di antara suku-suku yang telah memegang kekuasaan di Makkah yang dikenal ialah suku-suku Amaliqah, yaitu sebelum Nabi Ismail dilahirkan. Kemudian datang pula ke Makkah suku-suku Jurhum dan mereka menetap di Makkah bersama-sama suku Amaliqah. Akan tetapi suku-suku Jurhum dapat mengalahkan dan mengusir suku-suku Amaliqah dari Makkah. Pada masa suku Jurhum berkuasa inilah Ismail datang ke Makkah. Dan kemudian, terjadilah pembagian kekuasaan antara Jurhum dan Ismail, yaitu urusan-urusan politik dan peperangan dipegang oleh orang-orang Jurhum, sedang Ismail mencurahkan tenaganya untuk berkhidmat kepada Baitullah dan urusan-urusan keagamaan, (Ahmad Syalabi, 2003: 43).
B. Geografi Makkah Pra Islam
Makkah terletak kira-kira 330 M di atas permukaan laut. Kota ini merupakan lembah yang kering, yang dikelilingi pegunungan karang yang tandus. Panjang lembah itu dari barat ke timur sekitar 3 KM, dan lebar dari utara ke selatan sekitar separuhnya. Di sebelah timur, lembah itu dibentengi Gunung Abu Qubais (Jabal Abu Qubais); di sebelah selatan dibatasi oleh gunung Abi Hadidah (Kudai) dan gunung Khundamah; sedangkan di sebelah utara dibatasi gunung al-Falj, gunung Qaiqa’an, gunung Hindi, gunung Lu’lu’, dan gunung Kada (gunung tertinggi), (Ensiklopedi Islam, 2005: 11). Philip K. Hitti menyebutkan bahwa kata Makkah berasal dari kata Macoraba yang dalam bahasa Saba berarti tempat Suci, (2010: 130). Makkah merupakan sebuah provinsi Arab Saudi yang memiliki luas wilayah 164.000 km² dan populasi 5.797.971 jiwa (2004)(saya tidak mendapatkan data sensus penduduk Makkah masa Muhammad, lebih-lebih pra Islam). Secara geografis, posisi Makkah sangat strategis, yaitu sebagai jalur lalu lintas perdagangan dari Mesir ke Persia, atau dari Yaman ke Syam, hal ini mengandaikan bahwa Makkah merupakan daerah yang selalu ramai dikunjungi orang dari berbagai bangsa. Makkah berada pada titik antara dua rute utama: satu dari selatan dan utara, melalui Hijaz yang bergunung-gunung dari Yaman dan daratan-daratan lautan India ke Syiria dan daratan-daratan Mediterania; sedangkan yang lain dari timur ke barat dari Irak, Iran, dan daratan-daratan Erosia tengah ke Abisinia dan Afrika Timur, (Hodgson, 2002: 220). Kendatipun demikian, Makkah atau kalau pada masa dahulu disebut dengan Hijaz (Makkah, Yathrib, Thaif, dan beberapa kota lain) sebenarnya merupakan merupakan daerah yang tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, hal ini dikarenakan daerahnya yang sulit dijangkau dan juga karena tanahnya yang tandus, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa daerah ini adalah daerah yang miskin, (Badri Yatim, 1993: 13). Hanya saja, daerah ini ramai dikunjungi, disamping karena adanya Ka’bah, dikarenakan Makkah memiliki air yang cukup untuk mengenyangkan banyak unta, kemudian kota ini juga terlindung oleh bukit-bukit sehingga sulit dijangkau oleh para bajak laut Merah, (Hodgson, 2002).

Posisi Ka’bah juga menjadi salah satu tujuan kunjungan, di samping perdagangan. Para pedagang dari berbagai penjuru jazirah Arab juga dalam rangka mengunjungi Ka’bah yang dianggap sebagai satu bangunan suci warisan Ibrahim AS, yang pada waktu itu diakui oleh Yahudi dan Nasrani. Muhammad Hussein Haikal dalam bukunya, Hayyatu Muhammad, mengatakan bahwa Kota Makkah pra Islam selain sebagai pusat keuangan dan hunian yang paling berpengaruh di jazirah Arab, adalah juga sebagai tujuan ziarah kedua setelah Palestina. Hampir di setiap bulan-bulan yang disakralkan oleh agama samawi, kota Makkah selalu disesaki oleh manusia-manusia dari seantero jazirah Arab, bahkan juga dari Persia dan Romawi. (filsafat.kompasiana.com). Di sekitar Ka’bah terdapat 360an berhala, yang mengelilingi berhala utama, Hubal. Hubal terbuat dari batu akik dalam bentuk manusia, lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini adalah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Makkah. Ia menjadi simbol pemersatu bagi struktur sosial bangsa Arab yang multisuku. Dan yang juga perlu diingat adalah bahwa keberadaan Hubal sangat mewarnai sistem pemerintahan kota Makkah. Ia menempati ruang tersendiri bukan hanya dalam kehidupan politik saat itu, namun juga dalam kegiatan ritual.

C. Politik Pemerintahan: Qushai dan Peranannya dalam menata sistem di Makkah
Menjelang kedatangan Islam, semua penduduk Makkah mengaku sebagai keturunan Quraisy (Fihr atau an-Nadhir). Namun, mereka terbagi-bagi dalam beberapa kabilah. Yang paling berpengaruh antara lain, Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Naufal, Bani Zuhra, Bani Asad, Bani Ta’im, bani Makhzum, Bani ‘Adi, Bani Djamah, dan Bani Sahm, (Ensiklopedi Islam, 2005: 11).
Pembentukan tatanan sosial di Makkah ini muncul salah satunya dikarenakan banyaknya pengunjung yang pergi ke Makkah, sehingga dibuatlah suatu pemerintahan yang baru. Saya tidak akan memulai penjelasan silsilah dari awal, namun saya batasi pada Qushai bin Kilab, buyut/leluhur Muhammad SAW. Menurut Husain Haekal Qushai bin Kilah adalah seorang yang pandangannya baik dan mempunyai kesungguhan, sehingga orang-orang di Makkah sangat menghormatinya. Qushai adalah pendiri pertama dan peletak dasar-dasar awal pemerintahan Quraisy.
Kebetulan, Qushai melamar Hubba, puteri Hulail bin Hubsyia – orang yang berpandangan tajam dari kabilah Khuza’a, dan ayah Hubba pada waktu itu adalah pengawas Ka’bah. Setelah menikah Qushai terus maju dalam usaha dan perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat agar kunci Ka’bah di tangan Hubba puterinya. Tetapi Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari kabilah Khuza’a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu dijualnya kepada Qushai dengan cara menukarnya dengan minuman keras. (Husain Haekal: 2001). Sehingga disebutkan dalam pepatah Arab: “Sekali bertepuk tangan, Abu Ghibsyam merugi”, (Khalil Abdul Karim, 2002: 4). Memang, tampaknya suku Khuza’a telah memperhitungkan bagaimana kedudukan suku ini nantinya bila pimpinan Ka’bah berada di tangan Qushai, orang yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di kalangan Quraisy. Akhirnya hal ini kemudian mengakibatkan suku Khuza’ah terusir dari Makkah yang dikomandoi Qushai dengan bantuan suku Quraisy. Sehingga seluruh pimpinan Ka’bah ada di tangan Qushai dan dia diakui sebagai pemimpin mereka.
Ketika Qushai memegang kendali pimpinan di Makkah, tidak ada bangunan apapun di tempat itu, selain Ka bah. Hal ini dikarenakan, baik Khuza’a atau Jurhum tidak ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Ka’bah itu, juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka. Bahkan orang yang sedang junub pun tidak diperbolehkan di sana. Dan memang kaum Quraisy pada waktu itu tinggalnya bercerai berai, tinggal di kaki-kaki gunung yang ada di daerah itu, dan di sudut-sudut Makkah.
Sehingga ketika Qushai memegang pimpinan Makkah ia memegang beberapa tugas penting, pertama, urusan hijabah (pemegang kunci Ka’bah); kedua, urusan siqayah (pengawas mata air zamzam); ketiga, urusan rifadah (penyedia makanan bagi tamu); keempat, urusan Nadwa (pemimpin rapat antar kabilah); kelima, urusan Liwa’ (pengatur panji perang); keenam, urusan qiyadah (pemimpin pasukan perang). Di samping itu, ia mengumpulkan suku Quraisy dan menyuruh mereka membangun di tempat sekitar Ka’bah.
Dengan dipelopori oleh Qushai sendiri dibangunnya Dar an-Nadwa sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Makkah yang dipimpin oleh Qushai sendiri. Di tempat ini mereka bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat ini pula.
Dengan perintah Qushai, orang-orang Quraisy lalu membangun tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka’bah itu, dengan meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan thawaf sekitar Ka’bah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat tawaf tersebut. Sehingga kaum Quraisy memiliki tempat tinggal di sekitar Ka’bah.
Qushai memiliki beberapa anak, yang tertua adalah Abd ad-Dar. Akan tetapi Abd Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah mendapat tempat pula. Sehingga ketika Qushai sudah tua, kekuatannyapun sudah berkurang dan sudah tidak kuat lagi ia mengurus Makkah sebagaimana mestinya, akhirnya kunci Ka’bah diserahkan kepada Abd’d-Dar, demikian juga soal air minum, panji dan persediaan makanan. Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya kepada Qushai guna membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan. Qushai adalah orang yang pertama mewajibkan suku Quraisy menyiapkan persediaan makanan bagi peziarah haji.
Abd ad-Dar juga telah memegang pimpinan Ka’bah dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi, masih menurut Haekal, anak-anak Abd Manaf sebenarnya memiliki kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi. Hal ini hampir membuat perpecahan pada suku Quraisy dan perpecahan diantara keluarga keturunan Qushai. Namun mereka kemudian membuat kesepakatan Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan air, makanan, dan pertolongan, sedangkan kunci, panji peperangan, dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd ad-Dar. Menurut Khalil Abdul Karim, Abd Manaf menerima keputusan ini karena, bagaimanapun masyarakat Arab selalu lebih mementingkan kemuliaan yang dianggap sebagai karunia yang dapat mengangkat derajat seseorang. Dengan kata lain, memberi makan kepada peziarah haji dan umroh akan memberikan citra yang terhormat bagi mereka, (Khalil Abdul Karim, 2002).
Hasyim bin Abd Manaf termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dia memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushai kakeknya, yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada pengunjung pada musim ziarah.
Peranan yang dipegang Hasyim tidak berhenti di situ saja, jasa-jasanya sampai ke seluruh Makkah. Menurut Haekal, di musim tandus dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria. (Perhatikan QS. Quraisy)
Sampai di sini kita akan melihat bahwa kepedulian Qushai dan Hasyim merupakan satu taktik untuk menjaga kemuliaan mereka kepada semua orang, baik pendatang maupun pada orang Makkah sendiri. Di sini kita juga melihat bahwa betapa taktik ini adalah taktik politis berbaju agama dan kita akan melihat bahwa basis pelayanan ini dimanfaatkan oleh para pendiri Quraisy, kemudian juga sangat tampak pada generasi penerusnya Abdul Muthalib, hingga pada Rasulullah SAW. Bisa dikatakan di sini bahwa bagi para pendiri Quraisy, agama merupakan satu faktor efektif dalam membangun kekuasaan Quraisy.
Selanjutnya, untuk melindungi daerah Makkah dari serangan musuh, dan demi memuluskan keamanan perjalanan dagang para peziarah, anak-anak Abd Manaf juga membuat perjanjian perdamaian dengan tetangga-tetangganya. Hasyim membuat perjanjian sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Romawi dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Romawi mengijinkan orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak Himyar di Yaman. Sehingga Makkah bertambah kuat dan bertambah makmur. Syafiq A. Mughni menyebutkan bahwa isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa perdagangan yang dilakukan di Makkah harus mengindahkan ketertiban pelaksanaan ibadah, terutama pada bulan-bulan haram, yakni dari tanggal 10 Zulhijjah hingga 10 Rabiul Akhir. Perjanjian itu juga menyebutkan bahwa para amir Makkah tidak boleh mencampur adukkan persoalan politik yang timbul akibat persaingan negara-negara di sekitar Arab. Dan disebutkan pula bahwa sebagai imbalan dari perhatian terhadap ketentuan itu, para pedaganag Makkad diberikan jaminan keamanan dalam lalu lintas perdagangan di Laut merah, diberikan kebebasan mengimpor komoditas dari Afrika, India, dan Yaman. Syafiq juga menambahkan dalam catatannya, bahwa para pedagang baik Arab atau asing yang tidak turut menandatangani perjanjian ini akan dikenakan pajak perdagangan sebesar 10% ketika masuk Makkah, (Syafiq A. Mughni, 2002: 13)
Hasyim meninggal dunia dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazza (Gaza). Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muttalib. Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak Hasyim itu. Ia pergi ke Yathrib. Dan karena anak itu sudah besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: Abd Muttalib (Budak Muttalib). “Hai,” kata Muttalib. “Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari Yathrib.” Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.
Abd Muttalib sudah menempati kedudukan ayahnya Hasyim dan pamannya, Muttalib. Hal ini juga diwarisi oleh Abdullah putera Abd Muttalib. Dengan demikian, hal ini menunjukkan betapa posisi Muhammad sebenarnya sangatlah kuat jika dilihat dari silsilah suku dan keturunan. Muhammad lahir dari kalangan elit Makkah yang berupaya mengembalikan penduduk Makkah pada monoteisme murni kepada Allah SWT.

D. Budaya Makkah pra Islam: Tradisi-tradisi Jahiliyah
Apa sih sebenarnya jahiliyyah itu? Apakah benar jahiliyyah dipahami sebagai zaman kegelapan, tak berpendidikan, dan kebodohan. Umar bin Khattab mengatakan: “La ya’rifu al-Islama man la ya’rifu al-Jahiliyyah” (Seseorang tidak bisa mengenal Islam jika ia masih belum mengenal jahiliyah). Pengetahuan mengenai jahiliyah penting ditekankan untuk mengetahui fakta historis dari para penganut agama Islam. Jika kita menyimak paparan di atas, apakah akan masih tampak bahwa masyarakat Arab Makkah pra Islam itu jahiliyyah? Philip K. Hitti mengatakan bahwa jahiliyah dimaknai sebagai masyarakat yang tidak memiliki otoritas hukum, kitab suci, dan nabi. Hitti mengatakan bahwa Jahiliyah itu tidak sama dengan masa tidak bisa bisa baca tulis, karena berdasarkan penelitiannya, ternyata Arab bagian selatan sudah melek huruf. Hal senada dinyatakan oleh Karen Amstrong, karena bagi dia masyarakat pada waktu itu adalah masyarakat pagan. Saya kemudian lebih sepakat dengan definisi di atas, bahwa masyarakat Makkah pra Islam adalah masyarakat jahiliyah dalam artian mereka tidak memiliki otoritas hukum, kitab suci, dan nabi. Dalam al-Qur’an, jahiliyah disebutkan untuk memberikan garis pemisah yang tegas antara kebudayaan Arab pra Islam dengan kebudayaan Islam, (Zuhairi Misrawi, 2009: 92). Dan yang perlu diperhatikan lagi adalah bahwa masa jahiliyah tidaklah sepenuhnya negatif. Masa Jahiliyah juga memberikan sumbangsih besar dalam keberterimaan masyarakat Arab kepada Islam.
Islam hadir di Makkah tidak benar-benar memberikan ajaran yang murni baru dan berbeda dengan tradisi jahiliyah, tetapi dalam beberapa hal justru meneruskan tradisi tersebut. Misalnya saja tradisi berhaji yang telah ada turun temurun sebelum munculnya Islam, dan lain sebagainya, bahkan Gua Hira (yang letaknya di Jabal Nur, 5 KM dari Makkah) tempat Muhammad SAW bertahannuts pun merupakan salah satu situs yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab untuk bersemedi. Peters, F.E., mengatakan bahwa gua Hira merupakan situs yang biasa didatangi oleh penduduk Makkah menjelang Ramadhan. Mereka melakukan tahannuts di situ selama 1 bulan penuh, sembari memberikan sedekah kepada orang. Kemudian ketika bulan syawal tiba, mereka langsung mengelilingi Ka’bah selama seminggu, baru setelah itu pulang ke rumahnya masing-masing, (Peters, F.E., 1994: 38-39).
Tradisi yang dihilangkan dalam Islam, antara lain bisa disebutkan di sini, pertama, tradisi membunuh bayi perempuan yang baru lahir (QS. At-Takwiir: 8-9). Namun menurut Hasan Ibrahim Hasan, tradisi ini sebenarnya hidup di kalangan tertentu saja, yakni Bani Asad dan Tamim (Hasan Ibrahim Hasan, 2001: 115). Tradisi ini tidak berlaku pada di semua daerah di Makkah, hanya pada kalangan 2 bani tersebut, dan itupun dari kalangan ekonomi bawah. Kedua, tradisi melakukan undian. Tradisi ini hidup di Makkah. Jika ada orang yang hendak mengambil satu keputusan penting, maka orang itu akan meminta bantuan terhadap mangkuk undian. Mangkuk ini ada di depan patung Hubal yang ada di dalam Ka’bah. Menurut al-Kalbi, di depan Hubal terdapat 7 mangkuk alat undian. Ketiga, perbudakan. Pasar Ukaz yang ada di Makkah merupakan salah satu pasar terlengkap pada waktu itu. Perbudakan merupakan satu tradisi yang hidup jauh sebelum Islam datang, dan secara perlahan dihapuskan dari Makkah. Keempat, minum minuman keras. Khamr adalah minuman khas di Makkah. Ini merupakan kebiasaan masyarakat jahiliyah yang juga perlahan-lahan dilarang dalam Islam. Saya mengatakan di sini sebagai perlahan-lahan, karena di samping ada ketentuan yang beratahap meminta orang Islam pada masa nabi untuk meninggalkan khamr, juga dikarenakan secara historis, khamr sudah menjadi satu tradisi yang hidup dan tidak bisa dilepaskan pada waktu itu. Kelima, dalam riwayatnya Imam Bukhori menyebutkan kisah yang diceritakan oleh Aisyah, bahwa pada jaman jahiliyah dikenal empat cara pernikahan. (1) gonta-ganti pasangan. Seorang suami memerintahkan istrinya jika telah suci dari haid untuk berhubungan badan dengan pria lain. Bila istrinya telah hamil, ia kembali lagi untuk digauli suaminya. Ini dilakukan guna mendapatkan keturunan yang baik; (2) model keroyokan. Sekelompok lelaki, kurang dari 10 orang, semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut harus hadir. Kemudian si wanita menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan sebagai bapak dari anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak; (3) hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila yang memasang bendera/tanda di pintu-pintu rumah. Dia “bercampur” dengan siapapun yang disukai. (4) model perkawinan sebagaimana berlaku sekarang. Dimulai dengan pinangan kepada orang tua/wali, membayar mahar, dan menikah. Dari sekian tradisi perkawinan itu, maka model yang keempat yang diperbolehkan Islam. Di samping itu, tradisi kawin kontrak juga merupakan tradisi jahiliyah yang hingga saat ini masih kontroversi.

E. Agama Makkah Pra Islam
Pada pembahasan di atas saya telah menyebutkan beberapa agama penduduk Makkah pra Islam, yakni paganisme, watsani, yakni penyembah berhala (sebagaimana telah saya singgung di atas, dan agama ini yang paling banyak dianut penduduk Makkah). Sementara beberapa yang lain adalah Kristen (agama ini tersebar dan terbesar di Saudi Arabia. Faktor-faktor historis, geografis, ekonomi, dan politis membesarkan agama ini. Kristen masuk ke Jazirah Arab melalui penyerangan orang-orang Habsyi, sebab ekonomi, karena arus perdagangan pada musim panas dan dingin dari Syam dan Yaman. Abrahah termasuk raja Habsyah yang aktif menyebarkan agama ini. Di Mekkah, banyak pula individu yang menguasai bidang pemeliharaan Ka’bah yang masuk agama ini, dan beberapa orang dari bani Asad)(dalam konteks Saudi Arabia, suku-suku yang aktif menyebarkan agama ini adalah suku Iyad, Tamim, dan Hunaifa. Yahudi (pusat dari penyebaran Yahudi di Arab, dimulai dari Yaman, melalui hubungan raja-raja Himyar dengan Yahudi di Yathrib. Dalam konteks Saudi Arabia, suku-suku yang menjadi penganut agama ini adalah Quraidhah, Nadhir, Qainuq, Zaura, Hadal, Qum’ah, Zaid al-Lata). dan Majusi (penyembah api, agama Persia), (Khalil Abdul Karim, 2002). Kemudian juga ada animisme-dinamisme, terutama masyarakat pedalaman. Mereka menyembah benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, seperti batu, pohon kayu, binatang dan sebagainya. (Philip K. Hitti, 2010: 123). Di samping itu terdapat pula golongan hanif, yaitu pengikut monotheisme Arab yang memercayai Tuhan Yang Esa namun bukan sebagai pengikut Yahudi dan bukan juga Kristen, dan bukan pula penyembah berhala. (Ira M. Lapidus, 2002: 32). Di sini ada beberapa individu Quraisy yang bisa disebutkan, misalnya Qushai, paman Umar bin Khattab, Zaid ni Amr bin Nufail al-Adawi, (Khalil Abdul karim, 2002: 173)
Eksistensi agama-agama yang ada di Makkah ini juga, di samping adanya bukti kemajuan perdagangan, yang membuktikan bahwa sebelum Islam, kontak penduduk Makkah dengan dunia luar sangatlah intens, dan sekaligus hal ini membantah statemen yang menyatakan bahwa sebelum Islam datang, Orang Arab tidak melakukan kontak dengan dunia luar. Dibukanya perdagangan pada musim panas dan dingin di Makkah membuat para penduduk masa itu berkenalan dengan agama Yahudi dan Kristen. Jadi sebenarnya teori ini sama dengan teori masuknya Islam ke Indonesia pada 692 H/1292 M, di Samudra Pasai melalui jalur perdagangan.

Daftar Pustaka
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam Jilid I, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Ensiklopedi Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove, 2005
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Hamka, Sejarah Ummat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Yogyakarta: LKIS, 2002.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Marshall Hodgson, The Venture of Islam, Jakarta: Paramadina, 2002
M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (terj. Ali Audah), Jakarta: Pustaka Jaya, 2001.
Peters, F.E., A Reader on Classical Islam, Princeton: Princeton University Press, 1994.
Philip K. Hitti, The History of Arabs, Jakarta: Serambi, 2010.
Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove, 2002
Zuhairi Misrawi, Makkah, Jakarta: Penerbit Kompas, 2009.

Sabtu, 27 November 2010

MELIHAT SYAHRÛR MEMBACA TIRANI DALAM ISLAM

(Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama, Karya Dr. Muhyar Fanani, M.Ag., Pustaka Pelajar, 2007)
By: Saifuddin Zuhri Qudsy


Saat ini para cendekiawan mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Setidaknya ada dua kegelisahan yang bisa kita rangkum: pertama, problem modernitas. Poin pertama ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekonstruksi, bahkan pada saat-saat tertentu dekonstruksi, atas pemahaman yang telah dibawa semenjak abad VII M dan mengalami –meminjam istilah Arkoun- Taqdis al-ahkam (pensakralan hukum). Kedua, kesadaran internal muslim akan adanya anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks al-Qur’an, entah itu mengarah pada wilayah hukum (Fiqih), akidah, ataupun masalah-masalah yang berkait dengan IPTEK.
Dalam kaitannya dengan teks al-Qur’an, telah terjadi pembakuan-pembakuan atas adanya konsep muhkam mutasyabih, nasikh mansukh yang pada awalnya pembakuan tersebut tidaklah berawal dari ruang hampa, namun lebih dari itu, perdebatan teologis yang terjadi pada kurun waktu masa Dinasti Umayyah dan mulai dikodifikasikan pada masa Abbasiyah. Pembakuan ini terjadi secara tidak sadar dilakukan oleh umat Islam dengan melakukan penulisan-penulisan karya-karya yang relevan pada zaman tersebut yang di kemudian hari dikunyah oleh umat Islam secara taken for granted. Di sini tampak kelemahan umat Islam dalam absennya pisau analisis historis-sosiologis atas pembentukan tafsir atas wahyu al-Qur’an yang kental dengan perdebatan-perdebatan teologis antar aliran. Pengusungan teks lama pada masa sekarang telah menyebabkan pemasungan kreatifitas pikir yang pada akhirnya terjadi sakralisasi teks.
Di samping hal di atas, dalam dunia Islam telah terjadi pengkiblatan secara penuh akan kesadaran keislaman pada Arab, tradisi yang kita pakai saat ini lebih banyak terwarnai oleh Arab, jadilah kemudian seperti yang dikatakan Nasr Hamid Abû Zaid sebagai Arabisme.
***
Tulisan pengantar ini tidak berpretensi untuk mengurai dan melakukan analisis atas buku ini, namun lebih sebagai, jika memungkinkan, sebagai penjelas atas beberapa terma yang terlewatkan penjelasannya. Dalam buku yang ada di tangan pembaca ini terdapat kajian tentang tirani. Apa tirani itu, dan bagaimana konsep tirani tersebut? Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tirani dimaknai sebagai “Kekuasaan yang dipergunakan sewenang-wenang” atau “Suatu negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang suka bertindak sekehendak hatinya.” Itu makna literer dari tirani versi bahasa Indonesia.
Jika ditelaah secara seksama, dengan melihat pada referensi-referensi dan bahasa yang dipergunakan, buku ini mempergunakan istilah tirani versi Muhammad Syahrûr, seorang pemikir Islam yang sangat kontroversial di Syiria. Dalam bahasa Arab, kata ini menemukan padanannya dengan kata Istibdad. Syahrûr sendiri dalam berbicara masalah istibdad meminjam istilah dari Dr. Abdul Fatah Imam, dalam bukunya yang berjudul ath-Thagiyyah. Ide ini berangkat dari konklusi bahwa manusia sebenarnya mempunyai hak penuh atas dirinya (baca: tanpa intervensi Allah). Apa yang telah ada saat ini merupakan satu bentukan dari masa-masa lalu yang penuh dengan hiruk pikuk polemik politik. Dengan kata lain, gagasan tirani ini muncul karena melihat bahwa narasi-narasi besar mengenai dasar-dasar ilmu keagamaan ternyata dibentuk dan dibakukan di bawah rezim yang terkenal tiranik. Misalnya masa-masa tadwin yang terjadi pada masa-masa daulah Umayyah dan Abbasiyah dalam wilayah teologi dan fiqh.
Dalam hasil eksplorasinya, Syahrûr melihat tirani terjadi dalam enam ranah, akidah, pemikiran, pengetahuan, sosial, ekonomi-politik dan tirani ekonomi. Pada konsep yang pertama yakni tirani akidah. “Penyakit” terpenting dari tirani ini adalah sikap pasrah bahwa pekerjaan dan rizki serta umur itu telah ditetapkan semenjak zaman azali. Menurut Syahrûr, sikap atas ketiga hal ini harus diberanguskan dalam nalar pikir umat Islam. Sikap seperti ini menimbulkan ekses negatif yang amat parah dalam kehidupan manusia, dan dari sini pula terjadinya tirani besar-besaran dalam seluruh ranah kehidupan. So what? Syahrûr berpendapat bahwa Islam itu hanif (elastis), dalam artian bahwa Islam itu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Allah tidak menentukan secara saklek atas masalah pekerjaan rizki dan umur. Memang benar bahwa Allah menentukan baik dan buruk, hidup dan mati, akan tetapi ia menetapkan hal tersebut sebagai sesuatu yang eksis, universal, mujmal atau dalam contoh mudahnya adalah kebaikan sebagai ujung timur dan keburukan sebagai ujung barat, sedangkan di tengah-tengahnya itulah kreatifitas ijtihad manusia memainkan perannya. Sehingga jika melihat pada struktur komputer, kita memahami adanya dua komponen inti; ROM (Read Only Memory) dan RAM (Random Access Memory), yang dalam hal ini Syahrûr menyebut yang pertama sebagai Lauh Mahfudz (Hukum yang tertutup yang mencakup hukum-hukum umum yang mengatur eksistensi dan hukum-hukum sejarah) dan al-Imam al-Mubin (Hukum terbuka yang mencakup peristiwa-peristiwa alam yang bersifat pertikular dan peristiwa sejarah, dan hal-hal yang berlaku sesuai dengan hukum-hukum al-Lauh al-Mahfudz serta tidak bertentangan dengannya). Pada kedua Istilah komputer ini, yang pertama (ROM) merupakan sesuatu (program) yang sudah paten yang tidak bisa dibuka, dan tidak bisa berubah karena menjadi bagian inti tetap dalam komputer, sedangkan yang kedua (RAM) merupakan program yang masih bisa dibuka (diakses), yang berfungsi sebagai obyek aplikasi oleh para pengguna komputer.
Baik dan buruk, hidup dan mati merupakan bagian dari ROM sedangkan upaya manusia dalam mengatasi, memosisikan dimana ia akan memilih, maka ia masuk dalam ruang yang bisa diakses sesuka pengguna (RAM).
Tawaran Syahrûr ini bisa menjadi solusi atas polemik paham Jabariyah dan Mu’tazilah, jika dalam Jabariyah dikatakan klaim bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan sama sekali atas dirinya, sedangkan dalam Mu’tazilah manusia mempunyai hak kebebasan penuh, (antara stagnasi dan kebebasan berkreatifitas), sehingga aktifitas manusia yang diidealkan Syahrûr adalah “aktifitas dan stagnasi terjadi secara bersamaan dengan formulasi mutlak dan relevan dengan kehendak tuhan”.
Sedangkan yang kedua adalah Tirani Pemikiran termanifestasikan pada pola relasi antara guru dan murid yang secara umum –jika dilihat dari sekarang- semakin mengerucut pada pengkiblatan pada khazanah intelektual klasik yang telah terbakukan pada masa-masa Abbasiyah dengan mempergunakan justifikasi-justifikasi hadits, seperti justifikasi hadits tentang bahwa “Masa nabi dan sahabat dan kalangan sesudahnya merupakan masa yang terbaik (untuk dijadikan teladan).” Demikian pula termasuk dalam tirani ini statemen-statemen al-Ghazali, Ibnu Arabi dan lain-lain (tokoh-tokoh abad pertengahan). Semua hal ini termanifestasikan dalam statemen Syahrûr:
Tirani pemikiran, serta pandangan rendah diri ini telah merasuk dalam seluruh sendi kehidupan. Seorang murid menyerahkan pada gurunya untuk berpikir tentang dirinya. Sehingga metode pengajaran dan pendidikan dilihat dari perspektif edukatif tidak lebih dari sikap taklid buta atas nama “penghormatan”. Sedang dari perspektif pendidikan tidak lebih hanya sebuah pendiktean dari seorang guru kepada muridnya. Ujian-ujian hanya media untuk mengingat dan menghapal, bukan ujian dalam rangka pemahaman atas informasi serta cara menyikapinya, dengan mengenyampingkan bahwa sesungguhnya dasar dari pengajaran adalah mengajari manusia tentang bagaimana cara berpikir, metodenya serta pribadi yang mampu berpikir dan membuat hal baru. Awal kemalasan berpikir yang menimpa kita ini disebabkan oleh tirani ini, hal inilah yang menjadikan kita menyerahkan pada orang lain untuk memikirkan kita, dan kita mengambil pendapat mereka tanpa pengujian. Yang urgen bagi kita adalah subyek wacana bukan wacananya (orang yang berkata bukan apa yang dikatakannya), karena sesungguhnya ilmu menurut kita itu didasarkan pada kepercayaan bukan pada bukti.
Semua hal di atas berpangkal dari klaim bahwa ijtihad telah tertutup, padahal sebenarnya tidak dan belum pernah tertutup. Meski harus diakui kalau ijtihad yang ada pada saat ini belum bisa terlepas dari hegemoni pemikiran klasik. Sehingga walaupun dijumpai hasil-hasil ijtihad, maka hal itu tak lebih dari sebuah konstruksi-konstruksi apa-apa yang telah mapan pada masa-masa sebelumnya, dan belum sampai pada level tuntas, murni dengan menggunakan cara pandang dan paradigma yang relevan pada saat ini.
Kemudian yang ketiga adalah Tirani Pengetahuan. Tirani ini masih terkait erat dengan tirani pemikiran. Jika yang terjadi dalam tirani pemikiran adalah hegemoni otoritas klasik atas berbagai segi, maka tirani pengetahuan lebih menekankan pada aspek kesalahan berpikir yang dilakukan oleh para ulama saat ini atas al-Qur’an. Para ulama lebih terfokus pada pemahaman al-Qur’an dari sisi fenomena-fenomena keagamaan; seperti ibadah, muamalah dan ayat-ayat tentang hukum, namun jarang sekali membahas tentang tema-tema alam, eksistensi dan sejarah. Hal ini seolah memaksakan kita menamakan peradaban Arab dengan peradaban Fiqih, bahasa dan oral, bukan peradaban ilmu. Padahal jika diteliti, isi dari kandungan al-Qur’an, akan didapati –sebagaimana disebutkan oleh Harun Nasution- bahwa dari seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah 6.236, sekitar 76,65% atau 4.780 ayat tersebut diturunkan di Mekkah, sedangkan sisanya adalah di Madinah. Ayat-ayat Makkiyah lebih banyak memperbincangkan masalah keterangan tentang tuhan pencipta, pemilik alam semesta, keterangan baik dan buruk, politeisme dan lain-lain, sedangkan sisanya (23,35%) diturunkan di Madinah, yang banyak mengisahkan tatanan sosial masyarakat, hukum dan muamalat.
Tirani selanjutnya adalah Tirani Sosial. Tirani ini menampilkan aspek konflik antar generasi. ini diambil dari eksplorasi Syahrûr tentang ayat-ayat ashab kahfi. Asumsi yang ingin dibangun Syahrûr di sini adalah bahwa sebuah perangkat ataupun metodologi yang dipergunakan masa lalu tidaklah relevan dengan saat ini. Hal ini mengasumsikan dua hal, pertama bahwa, nalar zaman yang jauh secara jarak dan waktu, kedua eksistensi perubahan yang selalu menawarkan berbagai hal. Di sini Syahrûr mengajukan pertanyaan “mengapa ashab kahfi ketika dihidupkan kembali ke dunia kemudian meninggal lagi ?” dia menjawab karena mereka termasuk dalam kategori roj’iyyun (generasi terbelakang), sehingga walaupun mereka hidup dan berinteraksi dengan masyarakat pada saat mereka dihidupkan kembali, maka ia akan menjadi seorang yang kerdil dan tidak tahu apa-apa. Hal ini bagi Syahrûr sekaligus menjawab dan membantah pengandaian umat Islam “andaikan para sahabat dihadirkan (dihidupkan) kembali pada saat ini, maka mereka tentu akan dapat menyelesaikan konflik yang dialami umat Islam saat ini”. Dengan kata lain, bisa ditegaskan di sini, jika metode dan perangkat yang dipergunakan saat ini tetap mempergunakan metode abad II H, maka bisa dimaklumi jika metode tersebut mengalami goncangan dan tantangan terhadap modernitas.
Tirani yang kelima adalah Tirani Sosial-Politik. Dalam tirani ini pembahasan terfokus pada kajian tiga tokoh besar terdahulu yang dalam al-Qur’an kita kenal dengan sebutan Fir’aun, Haman dan Qarun pada zaman nabi Musa. Hal ini disinggung pula dalam bagian-bagian akhir buku ini. Dalam eksplorasi ini, Syahrûr menyatakan ketiganya memiliki spesifikasi kekuasaan masing-masing, Fir’aun merepresentasikan kekuasaan politik, Haman memegang kekuasaan religi dan Qarun sebagai pemilik modal (borjuis). Nah dalam tataran prakteknya –dan ini yang lebih membahayakan, Fir’aun berkoalisi dengan kedua penguasa tersebut dan dapat mengaturnya sesuai dengan keinginannya.
Dalam al-Qur’an kata Fir’aun disebutkan sebanyak 76 kali, dan tidak disebutkan dengan nama aslinya. Absennya nama asli tersebut, bagi Syahrûr, mengindikasikan bahwa siapapun yang melakukan hal serupa maka ia dapat dianalogikan sebagai Fir’aun. Dalam konteks ke-Indonesiaan –bila boleh di analogikan- kasus ini pernah terjadi pada rezim Orde Baru Soeharto, dimana ia bersekutu dengan militer dan membuat sebuah rezim totaliter, kemudian dalam pengaplikasiaannya pada masalah keagamaan ia mempunyai sebuah institusi yang bernama MUI (institusi ini bisa dikatakan Haman, dalam versi Syahrûrian), dan ia beserta keluarga dan kroninya juga menumpuk kekayaan sehingga harta menjadi terpusat pada perorangan (Qarun).
Tirani yang terakhir adalah tirani ekonomi. gambaran langsung dari tirani ini adalah mengenai fenomena Qarun, yang saat ini dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk korporasi-korporasi ataupun perbankan. Di Arab Saudi misalnya, terjadi monopoli petrolium, minyak dan lain sebagainya yang itu rata-rata dimiliki oleh para penguasa Saudi sendiri. Sehingga qarunisme merupakan gejala kapitalisme global yang menggurita, tidak terikat dengan kenegaraan tertentu ataupun warna tertentu.
Semua karakter tiranik ini sepenuhnya terjadi di dunia Arab khususnya dan pada dunia Islam umumnya. Terbersit pertanyaan mengenai bagaimana cara melepaskan diri dari simpul-simpul tirani yang begitu menghegemoni bahkan mendarah daging dalam diri kita?
Di sini Syahrûr berpendapat perlunya sebuah dekonstruksi atas pemahaman Islam yang ada pada saat ini. Pertama ia meniscayakan pemahaman bahwa Islam itu hanif (dalam pandangannya kata ini dimaknai dengan elastisitas Islam sesuai dengan ruang dan waktu). Kedua, Syahrûr membayangkan bahwa al-Qur'an itu diturunkan saat ini dan untuk masyarakat yang ada pada saat ini (kontemporer), yang tentunya dengan begitu meniscayakan pisau metodologi yang ada pada saat ini. Ketiga bahwa konstruksi konsep negara Islam perlu dibenahi, bahkan ia sendiri tidak setuju dengan adanya negara Islam (dalam hal ini Arab Saudi). Keempat, perlunya pengganti dari institusi tiran yang telah menggurita pada hampir seluruh negara Islam.
Buku ini menghadirkan sebuah perspektif tentang kemunduran ilmu-ilmu agama (ushuluddin) dengan menggunakan pendekatan sejarah. Pisau analisis yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan analisis paradigm shift, sebuah teori yang digagas oleh Thomas Kuhn. Rentetan analisis yang digunakan penulis buku ini mengenai pasang surut kajian ilmu ushuluddin pada masa awal Islam hingga saat ini memberikan kita suatu cakrawala yang integral dan komprehensif tentang wajah ilmu tersebut. Hal ini semakin menyadarkan kita pada dua hal, pertama, bahwa lahirnya suatu pemikiran apapun akan menemukan masa kemajuan dan kemundurannya masing-masing, tak terkecuali ilmu ushuluddin. Kedua, bahwa lahirnya suatu diskursus dipengaruhi oleh tali temali relasi kuasa dan pengetahuan, serta dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa saat itu. Dengan kata lain, sebuah diskursus akan lahir dan besar dengan dipelihara oleh suatu ideologi dominan yang dianut oleh penguasa. Membaca buku ini akan mengingatkan kita pernyataan Michel Foucault “Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri serta menciptakan rezim kebenaran sendiri.” Itulah yang terjadi dan disuguhkan secara tajam dalam buku ini.

Rabu, 24 November 2010

RENUNGAN BAGI GURU

Saifuddin Zuhri Qudsy

Di suatu pagi, seorang guru, sebut saja, Joko, sedang menyruput wedang kopi di depan rumahnya sembari membaca koran. Umurnya sudah cukup senja, 50 tahun. Wajahnya terlihat murung membaca berita-berita itu. Dia membaca berita si Gayus, muridnya yang dulu masih ingusan dan suka menyeka ilernya dengan tangan kanan, kini menjadi orang kondang karena masalah KKN. Sudah dibui masih juga jalan-jalan ke Bali, “Duh, apa yang salah dengan diriku, kok anak didikku berprilaku seperti itu,” batin si guru sambil garuk-garuk kepala. Dia mencoba membuka halaman 2 di koran itu, lagi-lagi dia dikagetkan dengan artikel berita berjudul: “Bahtiar Hamzah tersangkut korupsi pengadaan mesin jahit” lagi-lagi dia menggaruk kepalanya. “Weleh-weleh, muridku yang senior dan generasi pertama ini kok kena juga.” Di sampingnya berita itu juga tertulis judul berita “Bakrie tersangkut masalah pajak” dia bergumam: “Ealah, muridku yang satu ini, pinter di kelas, rajin, ternyata podo wae.”

Karena tidak tahan membaca berita-berita itu, dia pun kemudian membuka rubrik selebritis. Dia berpikir dengan membaca itu dia berharap sedikit terhibur. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika membuka rubrik yang dia inginkan itu sang guru mulia ini disodori berita “Krisdayanti selingkuh,” ya selingkuh dengan Raul Lemos. Mumet, pusing tujuh keliling melihat anak didiknya yang dia asuh dengan penuh pengertian dan harapan ternyata memiliki prilaku dan tingkah yang jauh dari yang dia inginkan. Bapak guru Joko menarik nafas panjang sembari mengangkat gelas kopi yang ada di sampingnya. Dia merenung lama seolah berpikir keras apa sih yang kurang dan yang salah dari para guru sehingga anak didiknya seperti ini? Guru yang di dahinya tampak dua tanda hitam bekas sujud itu berpikir “Apakah guru-guru ini salah karena terlalu mengedepankan ilmu pengetahuan dan mengesampingkan materi moralitas, akhlak, dan lain sebagainya?” “Apakah anak didik ini perlu dimondokkan?” “Tapi, bukannya para birokrat legislatif dan yudikatif yang dulu pernah menjadi anak didiknya banyak yang mondok ketika masa SMP dan SMAnya, tapi kenapa banyak di antara mereka yang tersangkut masalah korupsi?” dan tiba-tiba dia berteriak “Apa sih yang salah dengan kami ya Allah, sehingga mereka banyak yang menyimpang dari jalanmu ya Allah?!”

Teriakan keras itu membuat kaget istrinya, Wartinah: “Ono opo to pae, kok mbengok-mbengo dewe?” (Ada apa pak kok teriak-teriak sendiri). “Ngga’, ga ada apa-apa kok buk ne” jawabnya.

Sekali lagi dia membolak-balik koran yang ada di tangannya itu, seakan berharap ada berita yang mengenakkan dan mendinginkan hatinya. “Bibir TKW, Sumiati, dipotong.” “Astagfirullah, muridku yang satu ini kok ngenes temen yo, dulu cantik kok wajahnya sekarang amburadul kayak ini, Kok bisa pusat negara Islam, warganya melakukan perbuatan lalim seperti ini, berarti perjuangan Rasulullah di negara ini masih belum selesai!” teriaknya dalam hati.

Dia masih saja membuka halaman lain, seolah tidak puas dan mencari kabar yang mengenakkan hatinya, tapi alangkah kagetnya dia saat membaca berita kecil “sepasang pelajar bercinta di kebun jagung,” Astagfirullah, astagfirullah.... ucapnya setengah teriak. Dan tanpa sadar dia berteriak lebih keras lagi: “Apa yang salah dengan saya kok anak didik saya jadi begini...... apa salah kami.....!!!!”

“Prangg....,” piring yang dipegang Wartinah pecah jadi dua mendengar teriakan itu. Dengan setengah terhuyung-huyung dia lari ke suaminya yang tercinta itu dan berteriak: “Ono opo to pak!!”

Ngga’, ga ada apa-apa kok buk ne” jawabnya sambil mencampakkan koran yang dia pegang.

Luweh, sing penting aku ngajar!” batinnya, sembari pergi ke kamar mandi.