• RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Senin, 28 Juli 2008

KONSTRUKSI NALAR (HERMENEUTIKA)

KONSTRUKSI NALAR (HERMENEUTIKA)[1]
NEO-MODERNISME FAZLURRAHMAN
Saifuddin Zuhri Qudsy

Dalam sejarah Islam tidak diketahui dengan pasti kapan tahun persis lahirnya neo-modernisme. Namun yang jelas –sebagaimana diungkapkan oleh Fazlurrahman dan dikutip ulang oleh M. Azhar- lahirnya aliran ini dilatarbelakangi oleh tiga gerakan pemikiran sebelumnya. Pertama Revivalisme Pramodern, yang ada pada abad XVIII dan XIX di Arabia, India dan Afrika. Ciri-cirinya antara lain keprihatinan atas degenarasi sosio-moral umat, himbauan untuk kembali pada Islam sejati dengan mengenyahkan bentuk-bentuk takhayul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab hukum serta mengibarkan ijtihad; himbauan untuk mengenyahkan predeterministik; serta himbauan melakukan pembaruan, meski jika perlu dengan senjata. Kedua, gerakan di atas diambil alih oleh Modernisme Klasik pada abad XIX-XX di bawah pengaruh serta ide-ide Barat. Perluasannya antara lain tentang perluasan terhadap “isi” ijtihad, seperti isu hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya masalah peranan wanita, pendidikan, pembaruan politik dan pemerintahan.[2] Ketiga Neo-Revivalisme yang sebenarnya merupakan antitesis atas Modernisme Klasik karena usahanya untuk beda dari barat. Di sini mereka tidak mengembangkan metodologi apapun selain upaya membedakan diri dari barat.
Gambaran singkat mengenai latar belakang munculnya neo-modernisme menandakan bahwa setiap aliran lahir dari pergulatan dialektika yang muncul dalam lapangan historis suatu masa. Neo-modernisme, misalnya, lahir dari kekalutan sekelompok orang yang jenuh, merasa tidak at home dengan dunia neo-revivalisme yang lagi relevan untuk dunia kontemporer saat ini.[3]
Nah, dalam kondisi seperti ini Fazlurrahman –sebagai pelopor neo-modernisme- memandang perlunya kembali kepada khazanah Islam klasik dengan semangat kekinian. Tradisionalisme Islam –sebagai hasil pergulatan dialektis modernisme klasik- memang cenderung normatif-dogmatis pada abad pertengahan. Namun modernisme klasik yang telah berhasil menampilkan wajah faktual Islam masih cenderung lemah dalam aspek metodologi agama serta tidak memiliki basis epistemologi yang komprehensif. Neo-modernisme berupaya untuk kritis atas barat serta atas warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Di sini kemudian signifikansi neo-modernisme; menjembatani tradisionalisme dengan modernisme.[4]
Tulisan berikut akan memaparkan mengenai perkembangan pemikiran sang tokoh neo-modernisme Fazlurrahman yang terbagi setidaknya pada tiga periode: periode 50-an yang secara umum kajiannya masih bersifat historis, kedua periode Pakistan (60-an), masih bersifat normatif dan belum memiliki metode sistematis, dan ketiga periode Chicago, yang telah memiliki metode yang sistematis.[5]
Pada periode pertama, Fazlurrahman masih dalam proses belajar untuk memahami konstruksi Islam dan belum menuliskan ide-idenya secara sistematik. Hal ini dikarenakan pada masa ini, ia masih tekun mengikuti perkuliahan-perkuliahan dan masih dalam proses pensistematisasian pemikirannya. Sedangkan pada periode kedua, yakni masa ketika ia kembali ke Pakistan. Pakistan sebagaimana telah diketahui warna pemikiran dan corak Islam pada waktu itu masih didominasi oleh warna fundamentalisme, sehingga ia harus menyesuaikan keadaannya dengan kondisi yang ada. Meskipun ia ditunjuk oleh Ayyub Khan (seorang Presiden Pakistan yang modernis) sebagai ketua lembaga riset Islam, namun harus diakui bahwa golongan bawah (grassroot) masih kental corak fundamentalismenya. Namun kendati demikian, ia tetap mempunyai obsesi yang besar dengan melatih serta menghimpun sumber daya manusia yang memadai yang berpikiran kreatif dan inovatif. Hal ini mencapai puncaknya pada paruh kedua dari periode kedua ini, yakni upaya-upaya besarnya untuk mengadakan pencerahan atas umat Islam (wenstanchaung) dengan menelorkan ide-ide yang mendasarkan pada nilai-nilai substansif ajaran Islam bukan pada verbalitasnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang fundamentalis. Konstruksi seperti ini lebih mengedepankan “isi” daripada “bentuk” lebih pada ideal-moral daripada legal-formal. Salah satu gagasan-gagasan segarnya pada waktu itu adalah, penghalalan bunga bank, penyembelihan hewan secara mekanik, penolakan poligami, al-Qur'an adalah sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan moral bukan sebuah dokumen hukum, serta perlunya umat Islam untuk menangkap kembali esensi al-Qur'an dengan pendekatan struktural, yakni dengan melihatnya sebagai keutuhan bukan terpenggal-penggal, dan lain sebagainya.
Sebagai akibat dari pemikiran ini, berbagai cercaan dan kecaman bahkan fatwa hukuman mati terhadapnya bermunculan dari golongan fundamentalis semisal al-Maududi. Hal ini kemudian memaksanya untuk hengkang dari Pakistan menuju Chichago USA. Di sini kemudian dimulai periode selanjutnya.
Pada periode ketiga Fazlurrahman mulai mengadakan sistematisasi dan mulai menulis buku –bukan artikel lagi- mengenai tema-tema pokok al-Qur'an, sebagai realisasi dari konstruksi teori yang disebutnya sebagai Double Movement. Kemudian ia juga menulis tentang konsep sunnah, ijtihad bahkan konsep Etika Islam.

Konstruksi Hermeneutika Fazlurrahman
Dalam Tema-Tema Pokok Al-Qur'an, misalnya, Fazlurrahman mengatakan tentang mendesaknya kebutuhan umat Islam untuk mengembangkan sebuah teori hermeneutika yang akan membantu mereka untuk memahami al-Qur'an secara utuh. Sehingga bagian-bagian teologis ataupun etis serta etika legal al-Qur'an menjadi suatu kebutuhan yang padu. Dengan demikian akan terbangun suatu weltanschauung al-Qur'an.[6] Proses hermeneutika Fazlurrahman sebenarnya amat dipengaruhi oleh konsepsinya tentang wahyu dan al-Qur'an. Konsepsi-konsepsi tersebut antara lain:
Pertama, al-Qur'an merupakan kalam Allah sekaligus –dalam pengertian biasa- kata-kata Muhammad. Wahyu al-Qur'an merupakan respon ilahi melalui pikiran nabi terhadap situasi-situasi sosio moral dan historis masa nabi. [7]
Kedua, al-Qur'an merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Yakni bahwa pemahaman pasti terhadap al-Qur'an tidaklah didasarkan pada pemahaman al-Qur'an yang terpisah, namun secara keseluruhan, sebagai set prinsip atau nilai yang koheren.[8]
Ketiga, Elan dasar al-Qur'an adalah moral, bukan hukum.[9]
Keempat, al-Qur'an adalah dokumen yang diperuntukkan bagi manusia bukan bagi tuhan. Ia adalah hudan li an-naas.[10]
Konsepsi-konsepsi ini –menurut Muhammad Nur Ichwan-, ia wujudkan pada teori Double Movementnya -atau dalam istilah Indonesia di kenal dengan teori “Bolak-Balik”- dan metode Sintetik-Logik.[11]

Double Movement
“Dari situasi masa kini, ke masa al-Qur'an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini”

Inilah perkataan puitis Fazlurrahman dalam mengungkapkan Double Movement-nya dalam penafsiran al-Qur'an. Metode ini diaplikasikan dalam ayat-ayat sosial dan kemanusiaan, baik berkait dengan masalah hukum, politik, ekonomi dan lain-lain. Setidaknya penjelasannya adalah sebagai berikut: Gerak Pertama (dari situasi kini ke masa al-Qur'an) terdiri dari dua langkah; pertama, Melakukan tahap pemahaman tekstual al-Qur'an dan konteks sosio historis ayat-ayatnya (task of understanding). Langkah ini mensyaratkan adanya pemahaman secara makro mengenai situasi kehidupan arabia baik sisi kehadiran Islam di Mekkah, adat istiadat ataupun masyarakatnya. Langkah kedua melakukan generalisasi. Pada tahap ini perlu dilakukan upaya generasasi atas jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio legis yang sering dinyatakan. Yang perlu di perhatikan di sini adalah bahwa selama proses ini perhatian harus diberikan ke arah ajaran al-Qur'an, sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum, yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya.
Sedangkan Gerak Kedua (dari masa al-Qur'an diturunkan ke masa kini). Dalam bahasa mudahnya adalah bagaimana membumikan sebuah tujuan ayat al-Qur'an yang pada masa diturunkan berlaku secara spesifik ke dalam konteks kekinian. Tentunya hal ini dengan berupaya memahami pesan moral yang tertuang dalam ayat al-Qur'an tersebut. Sehingga terjadi penubuhan sebuah tujuan ayat pada konteks sosio historis masa sekarang. Namun di sini Fazlurrahman menekankan pula pentingnya koreksi atas penafsiran pemahaman pertama. Dengan demikian jika pemahaman pada gerakan pertama gagal diaplikasikan pada pemahaman gerakan kedua maka tentunya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi masa kini atau kegagalan dalam memahami al-Qur'an.

Sintetik-Logik
Metode ini diaplikasikan dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah teologi, eskatologi dan metafisik. Dalam metode ini Fazlurrahman membiarkan al-Qur'an berbicara sendiri. Sedangkan penafsiran hanya dipergunakan untuk membuat hubungan antara konsep-konsep yang berbeda. Caranya ialah dengan mensintesakan berbagai tema (tentang Tuhan dan Metafisika) lebih secara logik daripada secara kronologik. Menurutnya, metode ini lebih tepat dan lebih mendekati pada kebenaran.

Fazlurrahman: Sebuah Catatan
Konstruksi hermeneutika yang ditawarkan oleh Fazlurrahman –sebagaimana yang telah dipaparkan di atas-, terpengaruh oleh background kehidupannya yang hidup dalam tradisi madzhab Hanafiyah. Mazhab yang disebutkan terakhir ini banyak melakukan proses rasionalisasi atas suatu bentuk penafsiran[12]. Tradisi Hanafiyah ini, cenderung mengdepankan al-Qur'an daripada hadits. Hal di atas berpengaruh pula pada diri Fazlurrahman dalam kaitannya pengambilan sumber hukum dari hadits, di mana pada sumber ini, ia banyak melakukan pemilahan definisi atasnya.[13]
Kemudian dalam masalah pengambilan sumber hermeneutika, ia banyak mengadopsinya dari para pengkaji barat seperti Emilio Betti -yang berpengaruh besar dalam konstruksi Double Movement-nya-, yang menyatakan bahwa proses pemahaman (baca: hermeneutik) adalah suatu kebalikan dari proses penciptaan yang asal. Bentuk-bentuk yang dicoba untuk dipahami harus dibawa pada pikiran yang menciptakannya. Hal ini untuk menghindari pemahaman yang superfisial dan terpenggal-penggal. Di sini Rahman, dalam upaya membawa pada pikiran yang menciptakannya, mengemukakan asbab nuzul untuk mengetahuinya.
Mengenai konsepsi-konsepsi serta penafsiran Fazlurrahman atas realitas serta manusia misalnya, dimana Rahman menempatkan manusia dalam posisi sentral, Rahman terjebak pada pola antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai segala-galanya. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Mukti Ali dengan pernyataannya, “karena manusia ditempatkan secara sentral, maka Fazlurrahman berpendapat bahwa tuhan adalah “kemauan” dan kekuatan, tuhan adalah pesona bukan individu. Karena itu ia menekankan kodrat manusia. Tuhan memang menciptakan alam, alam diberi potensi untuk berkembang. Jadi perkembangan alam itu bukanlah ulah manusia, sehingga tidak heran jika konsep ketuhanannya seperti tukang membikin jam, yang dila dilengkapi mesin maka jam tersebut akan berjalan.[14] Sehingga Manusia “mengerti” Islam, namun tidak merasakannya, manusia “paham” Islam, namun tidak “menikmatinya”.[15] Wallahu a’lam bissawab



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Prof. Dr. Mukti, Fazlurrahman tentang Konsep al-Qur'an tentang Allah, Manusia dan Alam Semesta, makalah seminar sehari, Jakarta: LSAF, 1988.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung, 1992.
Azhar, Muhammad, Fiqih Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar 1996.
Fazlurrahman, Cita-Cita Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.
------------------, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, Bandung; Pustaka, 1985.
-----------------, Islam, Bandung; Pustaka, 1985.
-----------------, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung, Pustaka, 1992.
--------------------, Menafsirkan al-Qur'an, dalam Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, Bandung: Mizan, 1990.
-----------------, Tema-Tema Pokok al-Qur'an, Bandung; Pustaka, 1985.
Hardiman, Franscisco Budi, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Kanisius, 1990.
Ichwan, Muhammad Nur, Hermeneutika al-Qur'an, Analisis Peta Perkembangan Metodologi tafsir al-Qur'an Kontemporer, Skripsi pada Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995.
Nasution, Prof. Dr. Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
---------------------------------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, Jakarta: UIP, 1987.
Zaman, Ali Noer (ed), Agama untuk Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.










[1] Kami sebutkan kata Hermeneutika di sini, dikarenakan bagaimanapun konsep serta tawaran Neo-modernisme Fazlurrahman tidak bisa dilepaskan dari metode hermeneutik yang ditawarkannya. Menurut kami, justru dari konsep hermeneutiknya inilah konstruksi Neo-modernisme menjadi jelas.
[2] Muhammad Azhar, Fiqih Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996), hal 28. ketiga aliran sebelum Neo-modernisme ini jika dilihat dari perspektif klasifikasi Prof. Dr. Harun Nasution, maka ketiganya masuk dalam klasifikasi zaman Modern, yang setidaknya mempunyai ciri khas yang sama dengan yang disebutkan diatas. Lihat, Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 14.
[3] Untuk memahami konsep dialektis tentang tali-temali lahirnya suatu ideology atau aliran tertentu lihat, Franscisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
[4] Fazlurrahman, Cita-Cita Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), hal 103
[5] Opcit, hal. 39.
[6] Fazlurrahman, Tema-Tema Pokok al-Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 204.
[7] Fazlurrahman, Menafsirkan al-Qur'an, dalam Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 6.
[8] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 27-28.
[9] Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 43.
[10] Fazlurrahman, Tema-Tema Pokok al-Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 54.
[11] Muhammad Nur Ichwan, Hermeneutika al-Qur'an, Analisis Peta Perkembangan Metodologi tafsir al-Qur'an Kontemporer, Skripsi pada Fak. Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995, hal 77.
[12] Jika ditilik lebih jauh, maka sebenarnya madzhab ini berakar dari sebuah aliran yang bernama Madzhab Umari; aliran yang seringkali memusatkan perhatian pada al-Qur'an dan sering mengabaikan yang lain. Untuk keterangan lebih lanjut, Lihat. Jalaluddin Rakhmat, dalam pendahuluan atas buku karya Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 16-32.
[13] Lihat lebih jauh dalam Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1992).
[14] Prof. Dr. Mukti Ali, Fazlurrahman tentang Konsep al-Qur'an tentang Allah, Manusia dan Alam Semesta, makalah seminar sehari, (Jakarta: LSAF, 1988), hlm. 28. Rahman menyatakan pula bahwa manusia harus mencari jalan tengah antara paham Qadariyah dan Jabariyah. Namun kesan yang timbul dalam memahami Rahman adalah bahwa pahamnya adalah Qadariyah.
[15] Ibid. hlm. 30.

Minggu, 27 Juli 2008

The West accuses Islam at becoming a nest of terrorism. This places Islam into a corner. The accusation cannot be denied, because if a Moslem tries to search and study the holy Qur’an, the term jihad, jihad against the infidels, may be found. But on the other side, Qur’an teaches Moslems to be do tolerant of other religious believers. However, many Westerns more believe in the first point, that Islam is a nest of terrorism. Many facts stated, for instance, suicide bombing that often happened on Palestine or Israel, World Trade Center (WTC) tragedy, the Bali bombing and later, the Kuningan bombing.
But in this paper I don’t pretend to explain the first study, but rather to explain the Islamic concept of pluralism. Many studies of pluralism are actually held and practiced, but for me this issue is still up to date to give an image that Islam isn’t a nest of terrorists, that Islam isn’t an exclusive kind of religion, on the contrary, inclusive. In this opportunity I will present the pluralism concept that was established by Farid Esack, a contemporary thinker from South Africa, who lived under apartheid regime.
Defining Islam: a short explanation
Etimologically Islam is defined as submission and surrender. In dictionary of Lisan Arab, Ibn Manzur said that Islam means submission (al-Inqiyad).[1] Also according to Islamic law (syariah), Islam is defined to submission, to syariat and maintaining everything that Muhammad SAW’s brought.
I think in this occasion I don’t want to explore what Islam is, because it has been described widely in many Islamic books.
The Concept of Islam of Esack
Farid Esack tries to describe Islam in terms not as has been understood like the explanation above, but he views Islam as a religious term that has active character bases. In other words, Islam doesn’t mean a narrow formulation or a passive concept formed as an institutionalized religious system, that he said as reified conception of Islam.[2] But rather than that, he interpreted it as an active label that refers to practice performance that was formed and perceived as surrender way, obeying and totally submitting to God.
For Esack, the word of Islam is a positive representation of practice actions as active responds to order and God’s wish. Therefore, it doesn’t prevail just to a religious sect, but universally to all religions, especially, for Esack’s case, for all people of South Africa that totally admit and respond their God’s order. [3]
What Esack said above normatively based on Allah said in Qur’an: 3: 19:
Behold, the din with God is Islam; and those who were vouchsafed the scripture aforetime, out of mutual jealousy, differed only after knowledge had come unto them. But as for the one who reject is ungrateful (Yakfur) for signs of God, behold God is swift in reckoning.
In the verses above Esack finds that there two central understandings, and they are a base for the appearance of kind of exclusive and chauvinistic understanding in Islam. Both the key words were din and al-islam. [4] For getting more comprehensive understanding, Esack tries to elaborate the views of interpreters (mufassirin) that he considered represent the majority views. There are many interpreters that he cited in his book, such as, al-Thabari, Ibn Arabi, Zamakhsyari, al-Razi, Rasyid Ridha and Thabatabai.
To strengthen his argument, Esack refers to the linguistic analysis that is held by Ibn Manzur and Wilfred Cantwell Smith of the term of din in holy Qur’an. [5] After reading both prominent figures, Esack has a strong assumption, the term of din doesn’t has a narrow meaning –as held by majorities of Islamic thinkers- as a reified and formal religious system. In other words, in this context, Esack doesn’t interpret Islam as din, but emphasizes a process. The term of din is understood as surrender to God. According to Esack, there some reason for this:
“First, the term din was employed with various meaning within the Arabian Peninsula during seventh century. It was inevitable that the Qur’an would use it within the confines of those understandings. The absence of the plural form, adyan, is perhaps reflective of this, because religious life was not as fully reified then. Secondly, the Qur’an is engaged in a dynamic relationship with its hearers; it speaks and uses expression in terms of understanding of a community or individuals at a particular stage of their development. Thus the word din is not employed in the communal sense in the early Meccan context. Thirdly, to deny to affirm din or yaum al-din had little or nothing to do with verbal or theoretical affirmation or rejection related to a personal life-style to respond to God and a higher moral imperative or one of actively displaying contempt for these. Fourthly, the present near universal understanding of din as ‘religion’ and the corresponding virtual elimination of din as a personal response to God is unfounded in the text of the Qur’an, as well as in traditional exegesis.” [6]
The word of Islam as Muhammad Asad said, means self-surrender unto God. As a verbal noun, the term appears only eight times in the Qur’an whereas its foundation verb, aslama, appears twenty-four times.
Although this term is infrequently used, it has a central position in Moslem self definition.[7] The fact that this word is infrequent in Qur’an indicates that the character of Qur’an does not focus too much on the words that are related with static-metaphysic thought rather than the words that are intrinsically related to the active and dynamic conception.
According to Jane Smith, actually the appearance of various interpretations to this word, focused to two conditions: first, the relation between self-surrender externally and internally. Second, related with individual aspect and Islamic sect. In other words, the meaning of genuine Islam summarized in a mix between individual and sect understanding. This view is generally followed by classical interpreters in defining Islam. [8]
The Concept of Pluralism
The definition of Islam as a non reified and formal concept results in the acceptance of other religious believers. This then also results in receiving the religious pluralism concept. According to Webster Collgeate Dictionary, the word of pluralism means “Theory that there are more than one or more than two kind of ultimate reality”. [9] Therefore Esack gave chapters on his book Qur’an Liberation and Pluralism, that especially explain about this. Actually In Islamic discourse, religious pluralism isn’t a new topic. Some prominent Islamic thinker, like Fazlurrahman,[10] Mohammed Arkoun,[11] Asghar Ali Engineer[12] and others wrote a specific exploration about it before Esack.
But from all of the ideas that he wrote, there were new ideas about Qur’anic perspective in relation with other religious believers, relationship among religions, gender equality that was established from the consciousness to implement it to practice liberally. Practically, by his hermeneutical approach on the Qur’an about religious pluralism, Esack tried to relate pluralism theme to liberation of South Africans from their suffering. Even the pluralism concept that was born in South Africa came for their struggle for real liberation from the apartheid regime. The socio-political culture that was practiced in South Africa created apartheid ideology which divided religious people into groups.
One of his efforts to bridge theological rigidity, especially for the oppressed people was to establish theology was based on religious pluralism mixed with theology of liberation. The fundamental thing that he presented from this idea was how to identified religious community as self and having relationships with the others. Esack stated that theological categories of self and other were no longer tenable. [13]
This then began with the new interpretation on the keys word like the concept wilayah, kufr, and hijrah (exodus) theme. Many qur’anic verses were cited in his explanation.[14] From this exploration he concludes that the text dealing with the wilayah of religious Other, when understood in their historical context, offers a radically different perspective to that which a casual and decontextualized reading renders. Far from preventing Moslems from entering into relationship of solidarity with the religious Other, they actually facilitate and inspire the progressive Islamists’ pursuit of a hermeneutic that accommodate the religious Other and liberative-praxis.[15] While in the exodus paradigm, he said that this support for solidarity with the Other, though, was not limited to the religious Other, but also embraces those among the poor and downtrodden who actively reject the religious beliefs of Islam.
The context of pluralism, though, was not a vague commitment to Allah in forms of Otherness; indeed, some forms of Otherness are vehemently opposed and the Qur’an does not hesitate to encourage the severest forms of opposition to them. Instead, the Qur’an roots its own pluralism in a common struggle against oppression and injustice. Rather than a fashionable interfaith dialogue, we see an unarticulated solidarity with the marginalized and exploited that crosses narrow doctrinal lines. The basis of the pluralism being postulated in the Qur’an is, one may say, liberal praxis.
Some Notes For Esack
His concepts of Islam not as an idiom or label proposed not exclusively to Moslems, but also to another believers that really submit to respond their God’s order. From his exploration between Islam and pluralism it can be seen that Esack used a hermeneutical theory[16] in interpreting Qur’anic verses. He understood that the interpreters, classical or contemporary, were human that could be right or wrong in the interpretation process. They also interpreted the scripture according to the situation and environment where they lived.[17]
The fundamental thing that needs to be answered in this note is how to explain the relation between the idea of pluralism presented by Esack with interest, or in Habermas language, to clearly separate between knowledge and interest. To prove this theoretically Habermas has made a clear method; to make dialectical process that has its historical traces from the oppressed dialogue then reconstruct what has been oppressed.[18] There I think in this note I will use the critical theory as a tool of analysis on the pluralism ideas that establish by Esack.
From this condition Esack tries to stand up against oppressions and tries to liberate people that have the same fate with him. That why then, the way of his interpretation on Qur’an always announced liberation, justice, inter-religious solidarity, and advocacy for the oppressed.
Second, his interpretation influenced by his community. May be he cannot deny this, because logically a man will leave a community if he has no need or interest any longer in that community.
His idea of pluralism clearly has a purpose that not only stops on the discourse level, but further than that is oriented as a tool that can form agregation and social mobility.
At least, if ideology is considered as a system, idea, way of thought or structure of thought then can be parts of ideological tools, Esack’s idea itself also is a kind of structure of thought. Therefore Esack’s ideas about pluralism are a structure of thought that includes from its ideology. Automatically, Esack’s structure of thought is also influenced by his ideological orientation that reflects his class position and his social bases as the oppressed that struggles for justice and liberation. In this case, I think Qur’an also can be an ideological tool that is very accurate to destroy apartheid ideology and other ideology that has its oppressive and tyrannical. So it is not strange if Esack understand Qur’an not just only understand, interpret and translate it, but also must be able to implement it in a structure of action.

Bibliography
Asghar Ali Engineer, “On Religius And Intercultural Dialogue”, http//.www.global. net. com.
Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif , Yogyakarta: Kanisius, 1993
Fazlurrahman, Tema-Tema Pokok Al-qur’an, trans. Ahsin Muhammad Pustaka : Bandung, 1996.
Victoria Neufeldt, Webster New College Dictionary, (USA : Macmillan,1996.
Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism, Oxford: One World, 2002
Ibn al-Mandzūr, Lisān al-‘Arab, Kairo : Dar al-Kitab al-Masri, vol. 2.
Muhammad Arkoun, Nalar Islami Nalar Modern, Jakarta: INIS.
Wilfred C. Smith, The Meaning and End of Religion, New York : Mentor Books, 1991.


[1] Ibn al-Mandzūr, Lisān al-‘Arab, (Kairo : Dar al-Kitab al-Masri), vol. 2. p.1467-1470.
[2]Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism, (Oxford: One World, 2002), p. 126.
[3]Farid Esack, Qur’an…, p. 134.
[4]Farid Esack, Qur’an…, p. 127.
[5] Wilfred C. Smith, The Meaning and End of Religion, (New York : Mentor Books, 1991), p. 102.
[6] Farid Esack, Qur’an…, p. 129.
[7]Farid Esack, Qur’an…, p. 129.
[8]Farid Esack, Qur’an…, p. 129.
[9] Victoria Neufeldt, Webster New College Dictionary, (USA : Macmillan,1996 ), p. 878.
[10] Fazlurrahman, “Major Themes Qur’an” or check on, Fazlurrahman, Tema-Tema Pokok Al-qur’an terj. Ahsin Muhammad (Pustaka : Bandung, 1996), p. 233-245
[11] Muhammad Arkoun, Nalar Islami Nalar Modern, (Jakarta: INIS), p . 215-219.
[12] Asghar Ali Engineer, “On Religius And Intercultural Dialogue”, http//.www.global. net. com.

[13]Farid Esack, Qur’an…, p. 179.
[14] For example, 5: 51, 3: 28 and many others.
[15] Farid Esack, Qur’an Liberation..….p. 203.
[16] The hermeneutical theory that used by Esack refers to Carl Braaten definition stated that hermeneutic was the science reflecting on how a word or an event in a past time and culture may be understood and become existentially meaningful in our present situation. It involves both the methodological rules to be applied in exegesis as well as the epistemological assumption of understanding. See, Farid Esack, Qur’an, …….., p. 51.
[17] Farid Esack, Qur’an…, p. 50.
[18]Budi hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif (Yogyakarta : Kanisius, 1993), p. 13.

Jumat, 25 Juli 2008

QUR’ANIC PERSPECTIVE ON HUMAN EVOLUTION

Preface
Human evolution since many years still be a mystery. Many agree and disagree statements have been offered, but the theory of it still cannot be proved. Charles Darwin, that offered the theory of evolution actually wasn’t the first man that has evolution idea. Buffon (1707-1788) Lamark (1744-1804) and Schopenhauer (1788-1860) were often used the word of evolution to indicate the development in human being.[i] But they were unknown because they didn’t write their idea in a specific book, they different with Darwin that eternal his idea in his book The Origin of Species.
In Islamic perspective, especially in the scripture, there is no statement that strictly agree or disagree with Darwin theory, but the majority of Moslems say that evolution theory is a kind of deviation with the scripture, because in their beliefs Adam was the first man that created by Allah. So Darwin ideas against the scripture and must be rejected.
But, there is a new perspective of interpretation offered by Muhammad Shahrour. By his intellectuality he tries to find another way to interpret Qur'anic verses, especially, for our discussion, human evolution. By his technical abilities and his skill in tinker with the sentence of Qur’an he successfully observe and state that human that been in this earth were result of development and evolution (tathawwur) in billion year. This was we will discuss in this article. In the analysis I will try to a little bit compare with Darwin theory on evolution.

Muhammad Shahrour: Life and Thoughts
He was born in Damaskus on March 11 1938. His educational background actually doesn’t come from Islamic education, but he was a technical scholar since his undergraduate until doctoral program. But he got Islamic education and study Arabic literacy by autodidact and just has one teacher i.e Dr. Ja’far Dikk Babb.
During his life, he wrote about four serious and phenomenal books:
1. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qiraah Muashirah.[ii]
2. Dirasah Islamiyah Muashirah: fi al-Dawla wa al-Mujtama’[iii]
3. Dirasah Islamiyah muashirah al-Islam wa al-Iman Manzumat al-qiyam[iv].
4. Nahwa Ushul Jadidah fi al-Fiqh al-Islamy[v]
5. And many articles
Peter Clark in his article “The Shahrour Phenomenon, A Liberal Islamic Voice from Syiria” said that Arab world in 1990 was shacked by a controversial book written by Muhammad Shahrour by the title AL-Kitab wa al-Qur'an: Qiraah Muashirah.[vi] This book offered the new brilliant and liberal ideas on the Qur’anic’s concept related with theology, law, moral and social. This thick book has been very controversial because it deconstructs all of Moslems’ exist mindsets and beliefs. The human evolution just only a small part of his controversial ideas. And his first book, even all of his book, are countered by many scholar in Arab even in Europe. The reactions were different, agree and disagree. Many of them write books or articles just for counter his ideas. I can mention some here the books, Tahafut Qiraah Muashirah, written by Mahami Munir Mahmud Syawwaf, Baidlatut Dikk: Naqd Lughawi li al-Kitab Wa al-Qur'an, written by Syaidlawi and many others.
In general, the book that written by Shahrour tried to critique to the conventional religious policies and intolerant radical thought. From it, what actually Shahrour wanted is the need to reinterpret qur’anic verses according to development and interaction inter-generations.[vii] The most common statement that usually used by Shahrour is Tsabatun Nash wa Harakatul Muhtawa (the silent text but the meaning is dynamic).[viii]

Muhammad Shahrour and Evolution
Actually it’s difficult to explain shahrour theory without knowing all of Shahrour formulation that written in al-Kitab wa al-Qur'an. Many keys term that have to be understood before coming and describing Shahrour ideas on evolution. Shahrour describes human evolution on the chapter Jadal al-Kaun (the dialectical of universe). He placed dialectical as an qur’anic epistemological axis to understand nature, human and God.
The understanding of basyar creation begun with the verse “Khalaqakum min nafsin wahidah” it means that the basic of creature is one not from couple. When the life being existed in this earth, in the first time begun with the existence of creatures that have one cell that then grow by the way cracking, not by sexual relationship (talaquh zaujy). Those creatures then grow until have different variants. Then the verse Al-Insan: 2, indicates that life being continues until basyar reach his the maturity, namely when basyar passed three phases of creation process, first, sea period, second, sea-land period, and the last, the land period. And in this process human born in the land period and grow within sexual relationship. [ix]
Everything, except God, has dualistic (tsunaiyah) character that connected on a dialectical of interactive relation. For him, internally, dialectical movement between two different unsure results in development and changing continuously.[x] He uses the term cell differentiated and cell undifferentiated the term that are common in molecular biology, [xi] in explaining and making both of them equivalent with Mukhallaqah, and ghairu mukhallaqah that been in the surah al-Hajj: 5
This verse is understood in the framework of evolution law (qanun al-Tatawwur wa al-irtiqa) that be as the basic dialectical relationship between physiological form of human and other life creatures. When the smallest unsure that form a plan can be differentiated in a measurable system, so it called as mukhallaqah. This entity that he calls as cell differentiated.
But if that plan cannot be described by the measurable system, it called as ghairu mukhallaqah that understood as cell undifferentiated. Shahrour emphasizes that in dialectical relationship between cell differentiated and undifferentiated there is the secret of organic growth of life creatures.
If the groove of growth reaches the system in cell differentiated, so the organic growth will walk safely, but if the groove becomes far and reaches the system in cell undifferentiated, the organism that grow will get deformities.[xii] So all of this process, according to Shahrour, follows the evolution law. This understanding is same with the contemporary academic data.[xiii] For example, in the microbiology discipline stated that as long or after the growing and development of morfogenetic, the chemical composition and structure of cell slowly will be differentiated between one another. In the animal world, a group of embryonic cell that called as stem cell has a potentiality to grow be a specific cells in an adult animal. This differentiation of cell could be happened on a group of cells that form network (like nerve) and then form an organ (heart and brain). This differentiation process happened after the assembling of cell division (cell that has differentiated and cracked) as in the form of blood cell and germ cell (sperm and ovum). [xiv]
The growing of life creatures from one cell to two cell then continues millions years until the appearance of species that called as basyar that was already different with the other creatures. It’s because basyar has different shape. Shahrour believe that basyar, that then evolute to human, as old as the appearance of animal. [xv] In the description of qur’anic verses, Shahrour concludes that basyar refers to the exist being that has thought and has social relationship and interact each the other. [xvi]
The evolution phase from basyar to insan happened when basyar has already gotten an excellent shape, such as, stand upright with his foot, and already has a tool of sound. So after that the spirit (ruh) blown up to him until basyar evolutes to be insan that has spirit, that think well and life socially. [xvii] Thus for Shahrour, Adam wasn’t a personal name, but rather than that, as a name of species. [xviii] Species that resulted by an on going process. This concept offered by Shahrour all at once to deny the considerance that Adam was the first creature.
After adam species created, then those species evolute continuosly and passed four evolution phases:
First, the capability to get sounds, and animal characters. This phase concluded by Shahrour after interpreting Al-Baqarah: 31. [xix]
Second, the phase for doing order, as explained in the verses Al-Baqarah: 33. In this phase, the species of adam begin to get order from God by ordering to tell names to the angels. This species then ordered to stay in the ‘heaven’. For Shahrour the term of heaven doesn’t indicate to what has be a common sense in the Moslems communities. What he means by heaven is a heavy forest that has many fruits, waters. [xx]
Third, the tajrid phase (an abstraction process from the concrete object toward to the abstract). For Shahrour, this phase was an extraordinary phase, the species of adam that only use their brains to transfer names of thing from ear and eyes, then develop and grow to the development of language process and mind. [xxi] This description, for Shahrour, base on interpreting surat An-Nahl: 78.
Fourth, the second movement (hubuth) phase. After passing the third evolution, the species of adam then evolute continuously. In the common Moslem opinion, the term of hubuth is understood as a kind of chasing away to Adam from the heaven. But here, Shahrour interprets it as a kind of movement from one degree to the another. In this fourth phase, the species of adam begin to learn, and built social life, and economy in its early (primitive) forms. [xxii]
In this chapter (the dialectical of universe), Shahrour observed many verses that include themes of the creation of universe, human and the growing of language. He used tartil’s method (in general, this method is similar with thematic method) to examine those verses. In one side, those verses firmed that al-Qur'an included and covered the bases law of dialectic that prevails universally. But in other side, also covered dialectic law that prevails, specifically, for human. Allah explained that human (insan) separated from animal unsure after blowing the spirit (ruh) it then, supported with mind and knowledge, that placed human to be khalif in this earth and got a high position in living being. The verses that observed by Muhammad Shahrour in one condition, also firm that there are connection and relation between language, mind, and transmission function since the beginning development of language.
Darwin’s Ideas in Shahrour’s Interpretation of al-Qur'an
If we examine the explanation above, we will find that the evolution process of basyar to insan is similar with the process of homo erectus to homo sapiens. Homo erectus considered as human ancestor that begin to stand up steadily with his foot. While homo sapiens is considered as modern human.[xxiii]
In the explanation of those both human ancestors, many evolutionists didn’t know exactly where the homo erectus derives from. This is also similar, if connected to the basyar and insan term, that actually, implicitly, Shahrour agree about it. The thing that he explain is that basyar was a result of long evolution process of the life creatures. So, from here appear that there is missing link in Homo erectus or basyar ancestors.
After we check and read al-Kitab wa al-Qur'an, we find that Shahrour admitted that Darwin was a representative example when explore about his ta’wil concept.[xxiv] So it must be admitted that Shahrour was influenced by Darwin ideas, although in his explanation in the chapter “Dialectical of universe” he didn’t mention Darwin at all. Here I also found the strongness and weakness of Shahrour argument when he rigidly defined the scientific terms in the Qur’an, that he based on to the recovery of modern scientific data.
In this side, the understanding of al-Qur'an becomes dynamic and understood, contextually, based on the system of human knowledge that always grow and change. But in the other side, the interpretation of al-Qur'an always temporer and tentative same with the character of knowledge, and it means that al-Qur'an submitted in the power of knowledge. Whereas the evolution theory, basically, still unfinished and cannot be proved factually. Even Mahami Munir stated that the understanding that every life creation evolutes continuously is a kind of depraved understanding. For him it was so impossible a horse evolutes then become a camel. [xxv]
Besides all, the phases of process that offered by Shahrour and also the origin of life that begun with a creature that has one cell are similar with what been offered by evolutonists. [xxvi] So, I am doubt with Shahrour statement in the preface of al-Kitab wa al-Qur'an, that his reseach is new, objective and appropriate with the development of period. [xxvii]






BIBLIOGRAPHY
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: 1999.
Bruce Albert et.al, Biologi Molekuler Sel,, Jakarta: Gramedia, 1994.
Mahami Munir M. Syawwaf, Tahafut Qiraah Muashirah, Cyprus: Al-Syawwaf, 1993.
Muhammad Shahrour, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur'an Kontemporer, Yogyakarta: Elsaqpress, 2004.
………………, Tirani Islam, Yogyakarta: LKIS, 2002.
………………, Islam dan Iman, Dasar-Dasar Pokok, Yogyakarta: Jendela, 2000.
………………, Metodologi Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: Elsaqpress in Corporation with FORSTUDIA, 2003.
………………, Al-Kitab wa al-Qur'an: Qiraah Muashirah, Damascus: Daar Ahali, 1994.
Peter Clark, “The Shahrour Phenomenon, A Liberal Islamic Voice from Syiria”, in a Journal Islam and Christian Moslem relation, vol. 7 no. 3. p. 337.
Sahiron Syamsuddin (ed), Hermeneutika al-Qur'an Mazhab Jogja, Yogyakarta: Islamika in corporation with FORSTUDIA, p. 124.
T. Jamaluddin, Evolusi di Alam dan Eksistensi Manusia, http://media.isnet.org/.
http://kampustembalang.com/kampus/modules
http://www.evolutiondeceit.com/indonesian/keruntuhan9.php
“Embryology” in Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation.

Endnotes
[i] http://kampustembalang.com/kampus/modules
[ii] This very thick book was available in Indonesian language, but just only first chapter that already translated on the title Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur'an Kontemporer, Yogyakarta: Elsaqpress, 2004.
[iii] This book was also available in Indonesia version, Tirani Islam, Yogyakarta: LKIS, 2002.
[iv] Indonesia version, Islam dan Iman, Dasar-Dasar Pokok, Yogyakarta: Jendela, 2000.
[v] Indonesia version, Metodologi Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: Elsaqpress in Corporation with FORSTUDIA, 2003.
[vi] Peter Clark, “The Shahrour Phenomenon, A Liberal Islamic Voice from Syiria”, in a Journal Islam and Christian Moslem relation, vol. 7 no. 3. p. 337.
[vii] Bisri Effendi, “Tak Membela tuhan yang Membela Tuhan” in Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: 1999, p. xviii.
[viii] Muhammad Shahrour, Al-Kitab wa al-Qur'an: Qiraah Muashirah, Damascus: Daar Ahali, 1994. p. 60. See also, Abdul Mustaqim, “Mempertimbangkan Metodologi Tafsir Muhammad Shahrour, in Sahiron Syamsuddin (ed), Hermeneutika al-Qur'an Mazhab Jogja, Yogyakarta: Islamika in corporation with FORSTUDIA, p. 124.
[ix] Muhammad Shahrour, al-Kitab…., p. 201.
[x] Muhammad Shahrour, Al-Kitab…., p. 227.
[xi] “Embryology” in Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. See also, Bruce Albert et.al, Biologi Molekuler Sel,, Jakarta: Gramedia, 1994, p. 52
[xii] Muhammad Shahrour, Al-Kitab…., p. 227
[xiii] Shahrour has a belief that every interpretation that held today must depend to the contemporary way. So he doesn’t want to look back to the era where al-Qur'an revealed, even he supposes that al-Qur'an revealed today to us, not to Muhammad again. So for him we must use a contemporary methods and tools to interpret it.
[xiv] Muhammad Shahrour, al-Kitab……, p. 227
[xv] Muhammad Shahrour , al-Kitab……, p. 228
[xvi] Muhammad Shahrour , al-Kitab……, p. 228
[xvii] This interpretation based on the verse Al-Infithar: 6-8. this way of interpretation means that Shahrour imagine that in the first time basyar develops and evolutes continuously, from that in the first time walk like animal, in general until standing up with his foots.
[xviii] Muhammad Shahrour , al-Kitab……, p. 291.
[xix] Muhammad Shahrour , al-Kitab……, p. 304.
[xx] Muhammad Shahrour , al-Kitab……, p. 305-306.
[xxi] Muhammad Shahrour , al-Kitab……, p. 307
[xxii] Muhammad Shahrour , al-Kitab……, p. 311.
[xxiii] Check, http://www.evolutiondeceit.com/indonesian/keruntuhan9.php
[xxiv] Darwin was mentioned by him when he is explaining about ta’wil in his magnum opus al-Kitab…, p. 195.
[xxv] Mahami Munir M. Syawwaf, Tahafut Qiraah Muashirah, Cyprus: Al-Syawwaf, 1993, p. 129-131.
[xxvi] Check, T. Jamaluddin, Evolusi di Alam dan Eksistensi Manusia, http://media.isnet.org/.
[xxvii] Shahrour stated this in his preface of al-Kitab wa al-Qur'an. See, al-Kitab wa al-Qur'an. p. 30.

Selasa, 22 Juli 2008

MELIHAT SYAHRÛR MEMBACA TIRANI DALAM ISLAM

Saat ini para cendekiawan mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Setidaknya ada dua kegelisahan yang bisa kita rangkum: pertama, problem modernitas. Poin pertama ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekonstruksi, bahkan pada saat-saat tertentu dekonstruksi, atas pemahaman yang telah dibawa semenjak abad VII M dan mengalami –meminjam istilah Arkoun- Taqdis al-ahkam (pensakralan hukum). Kedua, kesadaran internal muslim akan adanya anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks al-Qur’an, entah itu mengarah pada wilayah hukum (Fiqih), akidah, ataupun masalah-masalah yang berkait dengan IPTEK.
Dalam kaitannya dengan teks al-Qur’an, telah terjadi pembakuan-pembakuan atas adanya konsep muhkam mutasyabih, nasikh mansukh yang pada awalnya pembakuan tersebut tidaklah berawal dari ruang hampa, namun lebih dari itu, perdebatan teologis yang terjadi pada kurun waktu masa Dinasti Umayyah dan mulai dikodifikasikan pada masa Abbasiyah. Pembakuan ini terjadi secara tidak sadar dilakukan oleh umat Islam dengan melakukan penulisan-penulisan karya-karya yang relevan pada zaman tersebut yang di kemudian hari dikunyah oleh umat Islam secara taken for granted. Di sini tampak kelemahan umat Islam dalam absennya pisau analisis historis-sosiologis atas pembentukan tafsir atas wahyu al-Qur’an yang kental dengan perdebatan-perdebatan teologis antar aliran. Pengusungan teks lama pada masa sekarang telah menyebabkan pemasungan kreatifitas pikir yang pada akhirnya terjadi sakralisasi teks.
Di samping hal di atas, dalam dunia Islam telah terjadi pengkiblatan secara penuh akan kesadaran keislaman pada Arab, tradisi yang kita pakai saat ini lebih banyak terwarnai oleh Arab, jadilah kemudian seperti yang dikatakan Nasr Hamid Abû Zaid sebagai Arabisme.
***
Tulisan ini hendak menguraikan apakah maksud dari apa tirani itu (yang dalam konteks tulisan ini ditujukan pada buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama karya Dr. Muhyar Fanani), dan bagaimana konsep tirani tersebut? Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tirani dimaknai sebagai “Kekuasaan yang dipergunakan sewenang-wenang” atau “Suatu negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang suka bertindak sekehendak hatinya.” Itu makna literer dari tirani versi bahasa Indonesia.
Jika ditelaah secara seksama, dengan melihat pada referensi-referensi dan bahasa yang dipergunakan, buku ini mempergunakan istilah tirani versi Muhammad Syahrûr, seorang pemikir Islam yang sangat kontroversial di Syiria. Dalam bahasa Arab, kata ini menemukan padanannya dengan kata Istibdad. Syahrûr sendiri dalam berbicara masalah istibdad meminjam istilah dari Dr. Abdul Fatah Imam, dalam bukunya yang berjudul ath-Thagiyyah. Ide ini berangkat dari konklusi bahwa manusia sebenarnya mempunyai hak penuh atas dirinya (baca: tanpa intervensi Allah). Apa yang telah ada saat ini merupakan satu bentukan dari masa-masa lalu yang penuh dengan hiruk pikuk polemik politik. Dengan kata lain, gagasan tirani ini muncul karena melihat bahwa narasi-narasi besar mengenai dasar-dasar ilmu keagamaan ternyata dibentuk dan dibakukan di bawah rezim yang terkenal tiranik. Misalnya masa-masa tadwin yang terjadi pada masa-masa daulah Umayyah dan Abbasiyah dalam wilayah teologi dan fiqh.
Dalam hasil eksplorasinya, Syahrûr melihat tirani terjadi dalam enam ranah, akidah, pemikiran, pengetahuan, sosial, ekonomi-politik dan tirani ekonomi. Pada konsep yang pertama yakni tirani akidah. “Penyakit” terpenting dari tirani ini adalah sikap pasrah bahwa pekerjaan dan rizki serta umur itu telah ditetapkan semenjak zaman azali. Menurut Syahrûr, sikap atas ketiga hal ini harus diberanguskan dalam nalar pikir umat Islam. Sikap seperti ini menimbulkan ekses negatif yang amat parah dalam kehidupan manusia, dan dari sini pula terjadinya tirani besar-besaran dalam seluruh ranah kehidupan. So what? Syahrûr berpendapat bahwa Islam itu hanif (elastis), dalam artian bahwa Islam itu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Allah tidak menentukan secara saklek atas masalah pekerjaan rizki dan umur. Memang benar bahwa Allah menentukan baik dan buruk, hidup dan mati, akan tetapi ia menetapkan hal tersebut sebagai sesuatu yang eksis, universal, mujmal atau dalam contoh mudahnya adalah kebaikan sebagai ujung timur dan keburukan sebagai ujung barat, sedangkan di tengah-tengahnya itulah kreatifitas ijtihad manusia memainkan perannya. Sehingga jika melihat pada struktur komputer, kita memahami adanya dua komponen inti; ROM (Read Only Memory) dan RAM (Random Access Memory), yang dalam hal ini Syahrûr menyebut yang pertama sebagai Lauh Mahfudz (Hukum yang tertutup yang mencakup hukum-hukum umum yang mengatur eksistensi dan hukum-hukum sejarah) dan al-Imam al-Mubin (Hukum terbuka yang mencakup peristiwa-peristiwa alam yang bersifat pertikular dan peristiwa sejarah, dan hal-hal yang berlaku sesuai dengan hukum-hukum al-Lauh al-Mahfudz serta tidak bertentangan dengannya). Pada kedua Istilah komputer ini, yang pertama (ROM) merupakan sesuatu (program) yang sudah paten yang tidak bisa dibuka, dan tidak bisa berubah karena menjadi bagian inti tetap dalam komputer, sedangkan yang kedua (RAM) merupakan program yang masih bisa dibuka (diakses), yang berfungsi sebagai obyek aplikasi oleh para pengguna komputer.
Baik dan buruk, hidup dan mati merupakan bagian dari ROM sedangkan upaya manusia dalam mengatasi, memosisikan dimana ia akan memilih, maka ia masuk dalam ruang yang bisa diakses sesuka pengguna (RAM).
Tawaran Syahrûr ini bisa menjadi solusi atas polemik paham Jabariyah dan Mu’tazilah, jika dalam Jabariyah dikatakan klaim bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan sama sekali atas dirinya, sedangkan dalam Mu’tazilah manusia mempunyai hak kebebasan penuh, (antara stagnasi dan kebebasan berkreatifitas), sehingga aktifitas manusia yang diidealkan Syahrûr adalah “aktifitas dan stagnasi terjadi secara bersamaan dengan formulasi mutlak dan relevan dengan kehendak tuhan”.
Sedangkan yang kedua adalah Tirani Pemikiran termanifestasikan pada pola relasi antara guru dan murid yang secara umum –jika dilihat dari sekarang- semakin mengerucut pada pengkiblatan pada khazanah intelektual klasik yang telah terbakukan pada masa-masa Abbasiyah dengan mempergunakan justifikasi-justifikasi hadits, seperti justifikasi hadits tentang bahwa “Masa nabi dan sahabat dan kalangan sesudahnya merupakan masa yang terbaik (untuk dijadikan teladan).” Demikian pula termasuk dalam tirani ini statemen-statemen al-Ghazali, Ibnu Arabi dan lain-lain (tokoh-tokoh abad pertengahan). Semua hal ini termanifestasikan dalam statemen Syahrûr:
Tirani pemikiran, serta pandangan rendah diri ini telah merasuk dalam seluruh sendi kehidupan. Seorang murid menyerahkan pada gurunya untuk berpikir tentang dirinya. Sehingga metode pengajaran dan pendidikan dilihat dari perspektif edukatif tidak lebih dari sikap taklid buta atas nama “penghormatan”. Sedang dari perspektif pendidikan tidak lebih hanya sebuah pendiktean dari seorang guru kepada muridnya. Ujian-ujian hanya media untuk mengingat dan menghapal, bukan ujian dalam rangka pemahaman atas informasi serta cara menyikapinya, dengan mengenyampingkan bahwa sesungguhnya dasar dari pengajaran adalah mengajari manusia tentang bagaimana cara berpikir, metodenya serta pribadi yang mampu berpikir dan membuat hal baru. Awal kemalasan berpikir yang menimpa kita ini disebabkan oleh tirani ini, hal inilah yang menjadikan kita menyerahkan pada orang lain untuk memikirkan kita, dan kita mengambil pendapat mereka tanpa pengujian. Yang urgen bagi kita adalah subyek wacana bukan wacananya (orang yang berkata bukan apa yang dikatakannya), karena sesungguhnya ilmu menurut kita itu didasarkan pada kepercayaan bukan pada bukti.
Semua hal di atas berpangkal dari klaim bahwa ijtihad telah tertutup, padahal sebenarnya tidak dan belum pernah tertutup. Meski harus diakui kalau ijtihad yang ada pada saat ini belum bisa terlepas dari hegemoni pemikiran klasik. Sehingga walaupun dijumpai hasil-hasil ijtihad, maka hal itu tak lebih dari sebuah konstruksi-konstruksi apa-apa yang telah mapan pada masa-masa sebelumnya, dan belum sampai pada level tuntas, murni dengan menggunakan cara pandang dan paradigma yang relevan pada saat ini.
Kemudian yang ketiga adalah Tirani Pengetahuan. Tirani ini masih terkait erat dengan tirani pemikiran. Jika yang terjadi dalam tirani pemikiran adalah hegemoni otoritas klasik atas berbagai segi, maka tirani pengetahuan lebih menekankan pada aspek kesalahan berpikir yang dilakukan oleh para ulama saat ini atas al-Qur’an. Para ulama lebih terfokus pada pemahaman al-Qur’an dari sisi fenomena-fenomena keagamaan; seperti ibadah, muamalah dan ayat-ayat tentang hukum, namun jarang sekali membahas tentang tema-tema alam, eksistensi dan sejarah. Hal ini seolah memaksakan kita menamakan peradaban Arab dengan peradaban Fiqih, bahasa dan oral, bukan peradaban ilmu. Padahal jika diteliti, isi dari kandungan al-Qur’an, akan didapati –sebagaimana disebutkan oleh Harun Nasution- bahwa dari seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah 6.236, sekitar 76,65% atau 4.780 ayat tersebut diturunkan di Mekkah, sedangkan sisanya adalah di Madinah. Ayat-ayat Makkiyah lebih banyak memperbincangkan masalah keterangan tentang tuhan pencipta, pemilik alam semesta, keterangan baik dan buruk, politeisme dan lain-lain, sedangkan sisanya (23,35%) diturunkan di Madinah, yang banyak mengisahkan tatanan sosial masyarakat, hukum dan muamalat.
Tirani selanjutnya adalah Tirani Sosial. Tirani ini menampilkan aspek konflik antar generasi. ini diambil dari eksplorasi Syahrûr tentang ayat-ayat ashab kahfi. Asumsi yang ingin dibangun Syahrûr di sini adalah bahwa sebuah perangkat ataupun metodologi yang dipergunakan masa lalu tidaklah relevan dengan saat ini. Hal ini mengasumsikan dua hal, pertama bahwa, nalar zaman yang jauh secara jarak dan waktu, kedua eksistensi perubahan yang selalu menawarkan berbagai hal. Di sini Syahrûr mengajukan pertanyaan “mengapa ashab kahfi ketika dihidupkan kembali ke dunia kemudian meninggal lagi ?” dia menjawab karena mereka termasuk dalam kategori roj’iyyun (generasi terbelakang), sehingga walaupun mereka hidup dan berinteraksi dengan masyarakat pada saat mereka dihidupkan kembali, maka ia akan menjadi seorang yang kerdil dan tidak tahu apa-apa. Hal ini bagi Syahrûr sekaligus menjawab dan membantah pengandaian umat Islam “andaikan para sahabat dihadirkan (dihidupkan) kembali pada saat ini, maka mereka tentu akan dapat menyelesaikan konflik yang dialami umat Islam saat ini”. Dengan kata lain, bisa ditegaskan di sini, jika metode dan perangkat yang dipergunakan saat ini tetap mempergunakan metode abad II H, maka bisa dimaklumi jika metode tersebut mengalami goncangan dan tantangan terhadap modernitas.
Tirani yang kelima adalah Tirani Sosial-Politik. Dalam tirani ini pembahasan terfokus pada kajian tiga tokoh besar terdahulu yang dalam al-Qur’an kita kenal dengan sebutan Fir’aun, Haman dan Qarun pada zaman nabi Musa. Hal ini disinggung pula dalam bagian-bagian akhir buku ini. Dalam eksplorasi ini, Syahrûr menyatakan ketiganya memiliki spesifikasi kekuasaan masing-masing, Fir’aun merepresentasikan kekuasaan politik, Haman memegang kekuasaan religi dan Qarun sebagai pemilik modal (borjuis). Nah dalam tataran prakteknya –dan ini yang lebih membahayakan, Fir’aun berkoalisi dengan kedua penguasa tersebut dan dapat mengaturnya sesuai dengan keinginannya.
Dalam al-Qur’an kata Fir’aun disebutkan sebanyak 76 kali, dan tidak disebutkan dengan nama aslinya. Absennya nama asli tersebut, bagi Syahrûr, mengindikasikan bahwa siapapun yang melakukan hal serupa maka ia dapat dianalogikan sebagai Fir’aun. Dalam konteks ke-Indonesiaan –bila boleh di analogikan- kasus ini pernah terjadi pada rezim Orde Baru Soeharto, dimana ia bersekutu dengan militer dan membuat sebuah rezim totaliter, kemudian dalam pengaplikasiaannya pada masalah keagamaan ia mempunyai sebuah institusi yang bernama MUI (institusi ini bisa dikatakan Haman, dalam versi Syahrûrian), dan ia beserta keluarga dan kroninya juga menumpuk kekayaan sehingga harta menjadi terpusat pada perorangan (Qarun).
Tirani yang terakhir adalah tirani ekonomi. gambaran langsung dari tirani ini adalah mengenai fenomena Qarun, yang saat ini dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk korporasi-korporasi ataupun perbankan. Di Arab Saudi misalnya, terjadi monopoli petrolium, minyak dan lain sebagainya yang itu rata-rata dimiliki oleh para penguasa Saudi sendiri. Sehingga qarunisme merupakan gejala kapitalisme global yang menggurita, tidak terikat dengan kenegaraan tertentu ataupun warna tertentu.
Semua karakter tiranik ini sepenuhnya terjadi di dunia Arab khususnya dan pada dunia Islam umumnya. Terbersit pertanyaan mengenai bagaimana cara melepaskan diri dari simpul-simpul tirani yang begitu menghegemoni bahkan mendarah daging dalam diri kita?
Di sini Syahrûr berpendapat perlunya sebuah dekonstruksi atas pemahaman Islam yang ada pada saat ini. Pertama ia meniscayakan pemahaman bahwa Islam itu hanif (dalam pandangannya kata ini dimaknai dengan elastisitas Islam sesuai dengan ruang dan waktu). Kedua, Syahrûr membayangkan bahwa al-Qur'an itu diturunkan saat ini dan untuk masyarakat yang ada pada saat ini (kontemporer), yang tentunya dengan begitu meniscayakan pisau metodologi yang ada pada saat ini. Ketiga bahwa konstruksi konsep negara Islam perlu dibenahi, bahkan ia sendiri tidak setuju dengan adanya negara Islam (dalam hal ini Arab Saudi). Keempat, perlunya pengganti dari institusi tiran yang telah menggurita pada hampir seluruh negara Islam.
Buku karya Muhyar ini menghadirkan sebuah perspektif tentang kemunduran ilmu-ilmu agama (ushuluddin) dengan menggunakan pendekatan sejarah. Pisau analisis yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan analisis paradigm shift, sebuah teori yang digagas oleh Thomas Kuhn. Rentetan analisis yang digunakan penulis buku ini mengenai pasang surut kajian ilmu ushuluddin pada masa awal Islam hingga saat ini memberikan kita suatu cakrawala yang integral dan komprehensif tentang wajah ilmu tersebut. Hal ini semakin menyadarkan kita pada dua hal, pertama, bahwa lahirnya suatu pemikiran apapun akan menemukan masa kemajuan dan kemundurannya masing-masing, tak terkecuali ilmu ushuluddin. Kedua, bahwa lahirnya suatu diskursus dipengaruhi oleh tali temali relasi kuasa dan pengetahuan, serta dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa saat itu. Dengan kata lain, sebuah diskursus akan lahir dan besar dengan dipelihara oleh suatu ideologi dominan yang dianut oleh penguasa. Membaca buku ini akan mengingatkan kita pernyataan Michel Foucault “Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri serta menciptakan rezim kebenaran sendiri.” Itulah yang terjadi dan disuguhkan secara tajam dalam buku ini.

Tulisan ini bisa dibaca edisi cetaknya dalam pengantar Buku Dr. Muhyar Fanani, Pudarnya Pesona Ilmu Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007