• RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Minggu, 28 November 2010

MAKKAH PRA ISLAM

Saifuddin Zuhri Qudsy

A. Pendahuluan
Pada kesempatan kali saya tidak akan membahas banyak hal yang berkaitan dengan Arab pra Islam, hal ini dikarenakan peradaban Arab pra Islam sebenarnya sudah terbangun mapan jauh sebelum Islam lahir. Lihat saja Mesopotamia Kuno (Ira Lapidus, 1999: 5), yang sudah terbentuk secara mapan pada 2400 SM. Meskipun jaraknya sekitar 2000 KM dari Makkah, Mesopotamia (yang sekarang disebut Irak) sudah memiliki peradaban yang sangat maju, dan ini masuk pada daratan Jazirah Arabia). Pada kesempatan ini saya akan mengulas masalah Makkah Pra Islam, yang akan saya batasi pada pembahasan pada posisi geografis, tatanan politik, budaya (tradisi-tradisi), dan agama. Kemudian, di samping akan membatasi penjelasan Arab Pra Islam pada Makkah, saya juga akan lebih fokus pada Makkah ketika dipegang oleh suku Quraisy.
Memang penduduk Makkah telah mengenal tentang pembagian kekuasaan sejak dulu. Di antara suku-suku yang telah memegang kekuasaan di Makkah yang dikenal ialah suku-suku Amaliqah, yaitu sebelum Nabi Ismail dilahirkan. Kemudian datang pula ke Makkah suku-suku Jurhum dan mereka menetap di Makkah bersama-sama suku Amaliqah. Akan tetapi suku-suku Jurhum dapat mengalahkan dan mengusir suku-suku Amaliqah dari Makkah. Pada masa suku Jurhum berkuasa inilah Ismail datang ke Makkah. Dan kemudian, terjadilah pembagian kekuasaan antara Jurhum dan Ismail, yaitu urusan-urusan politik dan peperangan dipegang oleh orang-orang Jurhum, sedang Ismail mencurahkan tenaganya untuk berkhidmat kepada Baitullah dan urusan-urusan keagamaan, (Ahmad Syalabi, 2003: 43).
B. Geografi Makkah Pra Islam
Makkah terletak kira-kira 330 M di atas permukaan laut. Kota ini merupakan lembah yang kering, yang dikelilingi pegunungan karang yang tandus. Panjang lembah itu dari barat ke timur sekitar 3 KM, dan lebar dari utara ke selatan sekitar separuhnya. Di sebelah timur, lembah itu dibentengi Gunung Abu Qubais (Jabal Abu Qubais); di sebelah selatan dibatasi oleh gunung Abi Hadidah (Kudai) dan gunung Khundamah; sedangkan di sebelah utara dibatasi gunung al-Falj, gunung Qaiqa’an, gunung Hindi, gunung Lu’lu’, dan gunung Kada (gunung tertinggi), (Ensiklopedi Islam, 2005: 11). Philip K. Hitti menyebutkan bahwa kata Makkah berasal dari kata Macoraba yang dalam bahasa Saba berarti tempat Suci, (2010: 130). Makkah merupakan sebuah provinsi Arab Saudi yang memiliki luas wilayah 164.000 km² dan populasi 5.797.971 jiwa (2004)(saya tidak mendapatkan data sensus penduduk Makkah masa Muhammad, lebih-lebih pra Islam). Secara geografis, posisi Makkah sangat strategis, yaitu sebagai jalur lalu lintas perdagangan dari Mesir ke Persia, atau dari Yaman ke Syam, hal ini mengandaikan bahwa Makkah merupakan daerah yang selalu ramai dikunjungi orang dari berbagai bangsa. Makkah berada pada titik antara dua rute utama: satu dari selatan dan utara, melalui Hijaz yang bergunung-gunung dari Yaman dan daratan-daratan lautan India ke Syiria dan daratan-daratan Mediterania; sedangkan yang lain dari timur ke barat dari Irak, Iran, dan daratan-daratan Erosia tengah ke Abisinia dan Afrika Timur, (Hodgson, 2002: 220). Kendatipun demikian, Makkah atau kalau pada masa dahulu disebut dengan Hijaz (Makkah, Yathrib, Thaif, dan beberapa kota lain) sebenarnya merupakan merupakan daerah yang tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, hal ini dikarenakan daerahnya yang sulit dijangkau dan juga karena tanahnya yang tandus, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa daerah ini adalah daerah yang miskin, (Badri Yatim, 1993: 13). Hanya saja, daerah ini ramai dikunjungi, disamping karena adanya Ka’bah, dikarenakan Makkah memiliki air yang cukup untuk mengenyangkan banyak unta, kemudian kota ini juga terlindung oleh bukit-bukit sehingga sulit dijangkau oleh para bajak laut Merah, (Hodgson, 2002).

Posisi Ka’bah juga menjadi salah satu tujuan kunjungan, di samping perdagangan. Para pedagang dari berbagai penjuru jazirah Arab juga dalam rangka mengunjungi Ka’bah yang dianggap sebagai satu bangunan suci warisan Ibrahim AS, yang pada waktu itu diakui oleh Yahudi dan Nasrani. Muhammad Hussein Haikal dalam bukunya, Hayyatu Muhammad, mengatakan bahwa Kota Makkah pra Islam selain sebagai pusat keuangan dan hunian yang paling berpengaruh di jazirah Arab, adalah juga sebagai tujuan ziarah kedua setelah Palestina. Hampir di setiap bulan-bulan yang disakralkan oleh agama samawi, kota Makkah selalu disesaki oleh manusia-manusia dari seantero jazirah Arab, bahkan juga dari Persia dan Romawi. (filsafat.kompasiana.com). Di sekitar Ka’bah terdapat 360an berhala, yang mengelilingi berhala utama, Hubal. Hubal terbuat dari batu akik dalam bentuk manusia, lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini adalah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Makkah. Ia menjadi simbol pemersatu bagi struktur sosial bangsa Arab yang multisuku. Dan yang juga perlu diingat adalah bahwa keberadaan Hubal sangat mewarnai sistem pemerintahan kota Makkah. Ia menempati ruang tersendiri bukan hanya dalam kehidupan politik saat itu, namun juga dalam kegiatan ritual.

C. Politik Pemerintahan: Qushai dan Peranannya dalam menata sistem di Makkah
Menjelang kedatangan Islam, semua penduduk Makkah mengaku sebagai keturunan Quraisy (Fihr atau an-Nadhir). Namun, mereka terbagi-bagi dalam beberapa kabilah. Yang paling berpengaruh antara lain, Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Naufal, Bani Zuhra, Bani Asad, Bani Ta’im, bani Makhzum, Bani ‘Adi, Bani Djamah, dan Bani Sahm, (Ensiklopedi Islam, 2005: 11).
Pembentukan tatanan sosial di Makkah ini muncul salah satunya dikarenakan banyaknya pengunjung yang pergi ke Makkah, sehingga dibuatlah suatu pemerintahan yang baru. Saya tidak akan memulai penjelasan silsilah dari awal, namun saya batasi pada Qushai bin Kilab, buyut/leluhur Muhammad SAW. Menurut Husain Haekal Qushai bin Kilah adalah seorang yang pandangannya baik dan mempunyai kesungguhan, sehingga orang-orang di Makkah sangat menghormatinya. Qushai adalah pendiri pertama dan peletak dasar-dasar awal pemerintahan Quraisy.
Kebetulan, Qushai melamar Hubba, puteri Hulail bin Hubsyia – orang yang berpandangan tajam dari kabilah Khuza’a, dan ayah Hubba pada waktu itu adalah pengawas Ka’bah. Setelah menikah Qushai terus maju dalam usaha dan perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat agar kunci Ka’bah di tangan Hubba puterinya. Tetapi Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari kabilah Khuza’a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu dijualnya kepada Qushai dengan cara menukarnya dengan minuman keras. (Husain Haekal: 2001). Sehingga disebutkan dalam pepatah Arab: “Sekali bertepuk tangan, Abu Ghibsyam merugi”, (Khalil Abdul Karim, 2002: 4). Memang, tampaknya suku Khuza’a telah memperhitungkan bagaimana kedudukan suku ini nantinya bila pimpinan Ka’bah berada di tangan Qushai, orang yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di kalangan Quraisy. Akhirnya hal ini kemudian mengakibatkan suku Khuza’ah terusir dari Makkah yang dikomandoi Qushai dengan bantuan suku Quraisy. Sehingga seluruh pimpinan Ka’bah ada di tangan Qushai dan dia diakui sebagai pemimpin mereka.
Ketika Qushai memegang kendali pimpinan di Makkah, tidak ada bangunan apapun di tempat itu, selain Ka bah. Hal ini dikarenakan, baik Khuza’a atau Jurhum tidak ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Ka’bah itu, juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka. Bahkan orang yang sedang junub pun tidak diperbolehkan di sana. Dan memang kaum Quraisy pada waktu itu tinggalnya bercerai berai, tinggal di kaki-kaki gunung yang ada di daerah itu, dan di sudut-sudut Makkah.
Sehingga ketika Qushai memegang pimpinan Makkah ia memegang beberapa tugas penting, pertama, urusan hijabah (pemegang kunci Ka’bah); kedua, urusan siqayah (pengawas mata air zamzam); ketiga, urusan rifadah (penyedia makanan bagi tamu); keempat, urusan Nadwa (pemimpin rapat antar kabilah); kelima, urusan Liwa’ (pengatur panji perang); keenam, urusan qiyadah (pemimpin pasukan perang). Di samping itu, ia mengumpulkan suku Quraisy dan menyuruh mereka membangun di tempat sekitar Ka’bah.
Dengan dipelopori oleh Qushai sendiri dibangunnya Dar an-Nadwa sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Makkah yang dipimpin oleh Qushai sendiri. Di tempat ini mereka bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat ini pula.
Dengan perintah Qushai, orang-orang Quraisy lalu membangun tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka’bah itu, dengan meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan thawaf sekitar Ka’bah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat tawaf tersebut. Sehingga kaum Quraisy memiliki tempat tinggal di sekitar Ka’bah.
Qushai memiliki beberapa anak, yang tertua adalah Abd ad-Dar. Akan tetapi Abd Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah mendapat tempat pula. Sehingga ketika Qushai sudah tua, kekuatannyapun sudah berkurang dan sudah tidak kuat lagi ia mengurus Makkah sebagaimana mestinya, akhirnya kunci Ka’bah diserahkan kepada Abd’d-Dar, demikian juga soal air minum, panji dan persediaan makanan. Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya kepada Qushai guna membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan. Qushai adalah orang yang pertama mewajibkan suku Quraisy menyiapkan persediaan makanan bagi peziarah haji.
Abd ad-Dar juga telah memegang pimpinan Ka’bah dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi, masih menurut Haekal, anak-anak Abd Manaf sebenarnya memiliki kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi. Hal ini hampir membuat perpecahan pada suku Quraisy dan perpecahan diantara keluarga keturunan Qushai. Namun mereka kemudian membuat kesepakatan Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan air, makanan, dan pertolongan, sedangkan kunci, panji peperangan, dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd ad-Dar. Menurut Khalil Abdul Karim, Abd Manaf menerima keputusan ini karena, bagaimanapun masyarakat Arab selalu lebih mementingkan kemuliaan yang dianggap sebagai karunia yang dapat mengangkat derajat seseorang. Dengan kata lain, memberi makan kepada peziarah haji dan umroh akan memberikan citra yang terhormat bagi mereka, (Khalil Abdul Karim, 2002).
Hasyim bin Abd Manaf termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dia memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushai kakeknya, yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada pengunjung pada musim ziarah.
Peranan yang dipegang Hasyim tidak berhenti di situ saja, jasa-jasanya sampai ke seluruh Makkah. Menurut Haekal, di musim tandus dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria. (Perhatikan QS. Quraisy)
Sampai di sini kita akan melihat bahwa kepedulian Qushai dan Hasyim merupakan satu taktik untuk menjaga kemuliaan mereka kepada semua orang, baik pendatang maupun pada orang Makkah sendiri. Di sini kita juga melihat bahwa betapa taktik ini adalah taktik politis berbaju agama dan kita akan melihat bahwa basis pelayanan ini dimanfaatkan oleh para pendiri Quraisy, kemudian juga sangat tampak pada generasi penerusnya Abdul Muthalib, hingga pada Rasulullah SAW. Bisa dikatakan di sini bahwa bagi para pendiri Quraisy, agama merupakan satu faktor efektif dalam membangun kekuasaan Quraisy.
Selanjutnya, untuk melindungi daerah Makkah dari serangan musuh, dan demi memuluskan keamanan perjalanan dagang para peziarah, anak-anak Abd Manaf juga membuat perjanjian perdamaian dengan tetangga-tetangganya. Hasyim membuat perjanjian sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Romawi dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Romawi mengijinkan orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak Himyar di Yaman. Sehingga Makkah bertambah kuat dan bertambah makmur. Syafiq A. Mughni menyebutkan bahwa isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa perdagangan yang dilakukan di Makkah harus mengindahkan ketertiban pelaksanaan ibadah, terutama pada bulan-bulan haram, yakni dari tanggal 10 Zulhijjah hingga 10 Rabiul Akhir. Perjanjian itu juga menyebutkan bahwa para amir Makkah tidak boleh mencampur adukkan persoalan politik yang timbul akibat persaingan negara-negara di sekitar Arab. Dan disebutkan pula bahwa sebagai imbalan dari perhatian terhadap ketentuan itu, para pedaganag Makkad diberikan jaminan keamanan dalam lalu lintas perdagangan di Laut merah, diberikan kebebasan mengimpor komoditas dari Afrika, India, dan Yaman. Syafiq juga menambahkan dalam catatannya, bahwa para pedagang baik Arab atau asing yang tidak turut menandatangani perjanjian ini akan dikenakan pajak perdagangan sebesar 10% ketika masuk Makkah, (Syafiq A. Mughni, 2002: 13)
Hasyim meninggal dunia dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazza (Gaza). Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muttalib. Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak Hasyim itu. Ia pergi ke Yathrib. Dan karena anak itu sudah besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: Abd Muttalib (Budak Muttalib). “Hai,” kata Muttalib. “Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari Yathrib.” Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.
Abd Muttalib sudah menempati kedudukan ayahnya Hasyim dan pamannya, Muttalib. Hal ini juga diwarisi oleh Abdullah putera Abd Muttalib. Dengan demikian, hal ini menunjukkan betapa posisi Muhammad sebenarnya sangatlah kuat jika dilihat dari silsilah suku dan keturunan. Muhammad lahir dari kalangan elit Makkah yang berupaya mengembalikan penduduk Makkah pada monoteisme murni kepada Allah SWT.

D. Budaya Makkah pra Islam: Tradisi-tradisi Jahiliyah
Apa sih sebenarnya jahiliyyah itu? Apakah benar jahiliyyah dipahami sebagai zaman kegelapan, tak berpendidikan, dan kebodohan. Umar bin Khattab mengatakan: “La ya’rifu al-Islama man la ya’rifu al-Jahiliyyah” (Seseorang tidak bisa mengenal Islam jika ia masih belum mengenal jahiliyah). Pengetahuan mengenai jahiliyah penting ditekankan untuk mengetahui fakta historis dari para penganut agama Islam. Jika kita menyimak paparan di atas, apakah akan masih tampak bahwa masyarakat Arab Makkah pra Islam itu jahiliyyah? Philip K. Hitti mengatakan bahwa jahiliyah dimaknai sebagai masyarakat yang tidak memiliki otoritas hukum, kitab suci, dan nabi. Hitti mengatakan bahwa Jahiliyah itu tidak sama dengan masa tidak bisa bisa baca tulis, karena berdasarkan penelitiannya, ternyata Arab bagian selatan sudah melek huruf. Hal senada dinyatakan oleh Karen Amstrong, karena bagi dia masyarakat pada waktu itu adalah masyarakat pagan. Saya kemudian lebih sepakat dengan definisi di atas, bahwa masyarakat Makkah pra Islam adalah masyarakat jahiliyah dalam artian mereka tidak memiliki otoritas hukum, kitab suci, dan nabi. Dalam al-Qur’an, jahiliyah disebutkan untuk memberikan garis pemisah yang tegas antara kebudayaan Arab pra Islam dengan kebudayaan Islam, (Zuhairi Misrawi, 2009: 92). Dan yang perlu diperhatikan lagi adalah bahwa masa jahiliyah tidaklah sepenuhnya negatif. Masa Jahiliyah juga memberikan sumbangsih besar dalam keberterimaan masyarakat Arab kepada Islam.
Islam hadir di Makkah tidak benar-benar memberikan ajaran yang murni baru dan berbeda dengan tradisi jahiliyah, tetapi dalam beberapa hal justru meneruskan tradisi tersebut. Misalnya saja tradisi berhaji yang telah ada turun temurun sebelum munculnya Islam, dan lain sebagainya, bahkan Gua Hira (yang letaknya di Jabal Nur, 5 KM dari Makkah) tempat Muhammad SAW bertahannuts pun merupakan salah satu situs yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab untuk bersemedi. Peters, F.E., mengatakan bahwa gua Hira merupakan situs yang biasa didatangi oleh penduduk Makkah menjelang Ramadhan. Mereka melakukan tahannuts di situ selama 1 bulan penuh, sembari memberikan sedekah kepada orang. Kemudian ketika bulan syawal tiba, mereka langsung mengelilingi Ka’bah selama seminggu, baru setelah itu pulang ke rumahnya masing-masing, (Peters, F.E., 1994: 38-39).
Tradisi yang dihilangkan dalam Islam, antara lain bisa disebutkan di sini, pertama, tradisi membunuh bayi perempuan yang baru lahir (QS. At-Takwiir: 8-9). Namun menurut Hasan Ibrahim Hasan, tradisi ini sebenarnya hidup di kalangan tertentu saja, yakni Bani Asad dan Tamim (Hasan Ibrahim Hasan, 2001: 115). Tradisi ini tidak berlaku pada di semua daerah di Makkah, hanya pada kalangan 2 bani tersebut, dan itupun dari kalangan ekonomi bawah. Kedua, tradisi melakukan undian. Tradisi ini hidup di Makkah. Jika ada orang yang hendak mengambil satu keputusan penting, maka orang itu akan meminta bantuan terhadap mangkuk undian. Mangkuk ini ada di depan patung Hubal yang ada di dalam Ka’bah. Menurut al-Kalbi, di depan Hubal terdapat 7 mangkuk alat undian. Ketiga, perbudakan. Pasar Ukaz yang ada di Makkah merupakan salah satu pasar terlengkap pada waktu itu. Perbudakan merupakan satu tradisi yang hidup jauh sebelum Islam datang, dan secara perlahan dihapuskan dari Makkah. Keempat, minum minuman keras. Khamr adalah minuman khas di Makkah. Ini merupakan kebiasaan masyarakat jahiliyah yang juga perlahan-lahan dilarang dalam Islam. Saya mengatakan di sini sebagai perlahan-lahan, karena di samping ada ketentuan yang beratahap meminta orang Islam pada masa nabi untuk meninggalkan khamr, juga dikarenakan secara historis, khamr sudah menjadi satu tradisi yang hidup dan tidak bisa dilepaskan pada waktu itu. Kelima, dalam riwayatnya Imam Bukhori menyebutkan kisah yang diceritakan oleh Aisyah, bahwa pada jaman jahiliyah dikenal empat cara pernikahan. (1) gonta-ganti pasangan. Seorang suami memerintahkan istrinya jika telah suci dari haid untuk berhubungan badan dengan pria lain. Bila istrinya telah hamil, ia kembali lagi untuk digauli suaminya. Ini dilakukan guna mendapatkan keturunan yang baik; (2) model keroyokan. Sekelompok lelaki, kurang dari 10 orang, semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut harus hadir. Kemudian si wanita menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan sebagai bapak dari anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak; (3) hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila yang memasang bendera/tanda di pintu-pintu rumah. Dia “bercampur” dengan siapapun yang disukai. (4) model perkawinan sebagaimana berlaku sekarang. Dimulai dengan pinangan kepada orang tua/wali, membayar mahar, dan menikah. Dari sekian tradisi perkawinan itu, maka model yang keempat yang diperbolehkan Islam. Di samping itu, tradisi kawin kontrak juga merupakan tradisi jahiliyah yang hingga saat ini masih kontroversi.

E. Agama Makkah Pra Islam
Pada pembahasan di atas saya telah menyebutkan beberapa agama penduduk Makkah pra Islam, yakni paganisme, watsani, yakni penyembah berhala (sebagaimana telah saya singgung di atas, dan agama ini yang paling banyak dianut penduduk Makkah). Sementara beberapa yang lain adalah Kristen (agama ini tersebar dan terbesar di Saudi Arabia. Faktor-faktor historis, geografis, ekonomi, dan politis membesarkan agama ini. Kristen masuk ke Jazirah Arab melalui penyerangan orang-orang Habsyi, sebab ekonomi, karena arus perdagangan pada musim panas dan dingin dari Syam dan Yaman. Abrahah termasuk raja Habsyah yang aktif menyebarkan agama ini. Di Mekkah, banyak pula individu yang menguasai bidang pemeliharaan Ka’bah yang masuk agama ini, dan beberapa orang dari bani Asad)(dalam konteks Saudi Arabia, suku-suku yang aktif menyebarkan agama ini adalah suku Iyad, Tamim, dan Hunaifa. Yahudi (pusat dari penyebaran Yahudi di Arab, dimulai dari Yaman, melalui hubungan raja-raja Himyar dengan Yahudi di Yathrib. Dalam konteks Saudi Arabia, suku-suku yang menjadi penganut agama ini adalah Quraidhah, Nadhir, Qainuq, Zaura, Hadal, Qum’ah, Zaid al-Lata). dan Majusi (penyembah api, agama Persia), (Khalil Abdul Karim, 2002). Kemudian juga ada animisme-dinamisme, terutama masyarakat pedalaman. Mereka menyembah benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, seperti batu, pohon kayu, binatang dan sebagainya. (Philip K. Hitti, 2010: 123). Di samping itu terdapat pula golongan hanif, yaitu pengikut monotheisme Arab yang memercayai Tuhan Yang Esa namun bukan sebagai pengikut Yahudi dan bukan juga Kristen, dan bukan pula penyembah berhala. (Ira M. Lapidus, 2002: 32). Di sini ada beberapa individu Quraisy yang bisa disebutkan, misalnya Qushai, paman Umar bin Khattab, Zaid ni Amr bin Nufail al-Adawi, (Khalil Abdul karim, 2002: 173)
Eksistensi agama-agama yang ada di Makkah ini juga, di samping adanya bukti kemajuan perdagangan, yang membuktikan bahwa sebelum Islam, kontak penduduk Makkah dengan dunia luar sangatlah intens, dan sekaligus hal ini membantah statemen yang menyatakan bahwa sebelum Islam datang, Orang Arab tidak melakukan kontak dengan dunia luar. Dibukanya perdagangan pada musim panas dan dingin di Makkah membuat para penduduk masa itu berkenalan dengan agama Yahudi dan Kristen. Jadi sebenarnya teori ini sama dengan teori masuknya Islam ke Indonesia pada 692 H/1292 M, di Samudra Pasai melalui jalur perdagangan.

Daftar Pustaka
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam Jilid I, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Ensiklopedi Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove, 2005
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Hamka, Sejarah Ummat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Yogyakarta: LKIS, 2002.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Marshall Hodgson, The Venture of Islam, Jakarta: Paramadina, 2002
M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (terj. Ali Audah), Jakarta: Pustaka Jaya, 2001.
Peters, F.E., A Reader on Classical Islam, Princeton: Princeton University Press, 1994.
Philip K. Hitti, The History of Arabs, Jakarta: Serambi, 2010.
Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove, 2002
Zuhairi Misrawi, Makkah, Jakarta: Penerbit Kompas, 2009.

Sabtu, 27 November 2010

MELIHAT SYAHRÛR MEMBACA TIRANI DALAM ISLAM

(Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama, Karya Dr. Muhyar Fanani, M.Ag., Pustaka Pelajar, 2007)
By: Saifuddin Zuhri Qudsy


Saat ini para cendekiawan mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Setidaknya ada dua kegelisahan yang bisa kita rangkum: pertama, problem modernitas. Poin pertama ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekonstruksi, bahkan pada saat-saat tertentu dekonstruksi, atas pemahaman yang telah dibawa semenjak abad VII M dan mengalami –meminjam istilah Arkoun- Taqdis al-ahkam (pensakralan hukum). Kedua, kesadaran internal muslim akan adanya anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks al-Qur’an, entah itu mengarah pada wilayah hukum (Fiqih), akidah, ataupun masalah-masalah yang berkait dengan IPTEK.
Dalam kaitannya dengan teks al-Qur’an, telah terjadi pembakuan-pembakuan atas adanya konsep muhkam mutasyabih, nasikh mansukh yang pada awalnya pembakuan tersebut tidaklah berawal dari ruang hampa, namun lebih dari itu, perdebatan teologis yang terjadi pada kurun waktu masa Dinasti Umayyah dan mulai dikodifikasikan pada masa Abbasiyah. Pembakuan ini terjadi secara tidak sadar dilakukan oleh umat Islam dengan melakukan penulisan-penulisan karya-karya yang relevan pada zaman tersebut yang di kemudian hari dikunyah oleh umat Islam secara taken for granted. Di sini tampak kelemahan umat Islam dalam absennya pisau analisis historis-sosiologis atas pembentukan tafsir atas wahyu al-Qur’an yang kental dengan perdebatan-perdebatan teologis antar aliran. Pengusungan teks lama pada masa sekarang telah menyebabkan pemasungan kreatifitas pikir yang pada akhirnya terjadi sakralisasi teks.
Di samping hal di atas, dalam dunia Islam telah terjadi pengkiblatan secara penuh akan kesadaran keislaman pada Arab, tradisi yang kita pakai saat ini lebih banyak terwarnai oleh Arab, jadilah kemudian seperti yang dikatakan Nasr Hamid Abû Zaid sebagai Arabisme.
***
Tulisan pengantar ini tidak berpretensi untuk mengurai dan melakukan analisis atas buku ini, namun lebih sebagai, jika memungkinkan, sebagai penjelas atas beberapa terma yang terlewatkan penjelasannya. Dalam buku yang ada di tangan pembaca ini terdapat kajian tentang tirani. Apa tirani itu, dan bagaimana konsep tirani tersebut? Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tirani dimaknai sebagai “Kekuasaan yang dipergunakan sewenang-wenang” atau “Suatu negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang suka bertindak sekehendak hatinya.” Itu makna literer dari tirani versi bahasa Indonesia.
Jika ditelaah secara seksama, dengan melihat pada referensi-referensi dan bahasa yang dipergunakan, buku ini mempergunakan istilah tirani versi Muhammad Syahrûr, seorang pemikir Islam yang sangat kontroversial di Syiria. Dalam bahasa Arab, kata ini menemukan padanannya dengan kata Istibdad. Syahrûr sendiri dalam berbicara masalah istibdad meminjam istilah dari Dr. Abdul Fatah Imam, dalam bukunya yang berjudul ath-Thagiyyah. Ide ini berangkat dari konklusi bahwa manusia sebenarnya mempunyai hak penuh atas dirinya (baca: tanpa intervensi Allah). Apa yang telah ada saat ini merupakan satu bentukan dari masa-masa lalu yang penuh dengan hiruk pikuk polemik politik. Dengan kata lain, gagasan tirani ini muncul karena melihat bahwa narasi-narasi besar mengenai dasar-dasar ilmu keagamaan ternyata dibentuk dan dibakukan di bawah rezim yang terkenal tiranik. Misalnya masa-masa tadwin yang terjadi pada masa-masa daulah Umayyah dan Abbasiyah dalam wilayah teologi dan fiqh.
Dalam hasil eksplorasinya, Syahrûr melihat tirani terjadi dalam enam ranah, akidah, pemikiran, pengetahuan, sosial, ekonomi-politik dan tirani ekonomi. Pada konsep yang pertama yakni tirani akidah. “Penyakit” terpenting dari tirani ini adalah sikap pasrah bahwa pekerjaan dan rizki serta umur itu telah ditetapkan semenjak zaman azali. Menurut Syahrûr, sikap atas ketiga hal ini harus diberanguskan dalam nalar pikir umat Islam. Sikap seperti ini menimbulkan ekses negatif yang amat parah dalam kehidupan manusia, dan dari sini pula terjadinya tirani besar-besaran dalam seluruh ranah kehidupan. So what? Syahrûr berpendapat bahwa Islam itu hanif (elastis), dalam artian bahwa Islam itu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Allah tidak menentukan secara saklek atas masalah pekerjaan rizki dan umur. Memang benar bahwa Allah menentukan baik dan buruk, hidup dan mati, akan tetapi ia menetapkan hal tersebut sebagai sesuatu yang eksis, universal, mujmal atau dalam contoh mudahnya adalah kebaikan sebagai ujung timur dan keburukan sebagai ujung barat, sedangkan di tengah-tengahnya itulah kreatifitas ijtihad manusia memainkan perannya. Sehingga jika melihat pada struktur komputer, kita memahami adanya dua komponen inti; ROM (Read Only Memory) dan RAM (Random Access Memory), yang dalam hal ini Syahrûr menyebut yang pertama sebagai Lauh Mahfudz (Hukum yang tertutup yang mencakup hukum-hukum umum yang mengatur eksistensi dan hukum-hukum sejarah) dan al-Imam al-Mubin (Hukum terbuka yang mencakup peristiwa-peristiwa alam yang bersifat pertikular dan peristiwa sejarah, dan hal-hal yang berlaku sesuai dengan hukum-hukum al-Lauh al-Mahfudz serta tidak bertentangan dengannya). Pada kedua Istilah komputer ini, yang pertama (ROM) merupakan sesuatu (program) yang sudah paten yang tidak bisa dibuka, dan tidak bisa berubah karena menjadi bagian inti tetap dalam komputer, sedangkan yang kedua (RAM) merupakan program yang masih bisa dibuka (diakses), yang berfungsi sebagai obyek aplikasi oleh para pengguna komputer.
Baik dan buruk, hidup dan mati merupakan bagian dari ROM sedangkan upaya manusia dalam mengatasi, memosisikan dimana ia akan memilih, maka ia masuk dalam ruang yang bisa diakses sesuka pengguna (RAM).
Tawaran Syahrûr ini bisa menjadi solusi atas polemik paham Jabariyah dan Mu’tazilah, jika dalam Jabariyah dikatakan klaim bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan sama sekali atas dirinya, sedangkan dalam Mu’tazilah manusia mempunyai hak kebebasan penuh, (antara stagnasi dan kebebasan berkreatifitas), sehingga aktifitas manusia yang diidealkan Syahrûr adalah “aktifitas dan stagnasi terjadi secara bersamaan dengan formulasi mutlak dan relevan dengan kehendak tuhan”.
Sedangkan yang kedua adalah Tirani Pemikiran termanifestasikan pada pola relasi antara guru dan murid yang secara umum –jika dilihat dari sekarang- semakin mengerucut pada pengkiblatan pada khazanah intelektual klasik yang telah terbakukan pada masa-masa Abbasiyah dengan mempergunakan justifikasi-justifikasi hadits, seperti justifikasi hadits tentang bahwa “Masa nabi dan sahabat dan kalangan sesudahnya merupakan masa yang terbaik (untuk dijadikan teladan).” Demikian pula termasuk dalam tirani ini statemen-statemen al-Ghazali, Ibnu Arabi dan lain-lain (tokoh-tokoh abad pertengahan). Semua hal ini termanifestasikan dalam statemen Syahrûr:
Tirani pemikiran, serta pandangan rendah diri ini telah merasuk dalam seluruh sendi kehidupan. Seorang murid menyerahkan pada gurunya untuk berpikir tentang dirinya. Sehingga metode pengajaran dan pendidikan dilihat dari perspektif edukatif tidak lebih dari sikap taklid buta atas nama “penghormatan”. Sedang dari perspektif pendidikan tidak lebih hanya sebuah pendiktean dari seorang guru kepada muridnya. Ujian-ujian hanya media untuk mengingat dan menghapal, bukan ujian dalam rangka pemahaman atas informasi serta cara menyikapinya, dengan mengenyampingkan bahwa sesungguhnya dasar dari pengajaran adalah mengajari manusia tentang bagaimana cara berpikir, metodenya serta pribadi yang mampu berpikir dan membuat hal baru. Awal kemalasan berpikir yang menimpa kita ini disebabkan oleh tirani ini, hal inilah yang menjadikan kita menyerahkan pada orang lain untuk memikirkan kita, dan kita mengambil pendapat mereka tanpa pengujian. Yang urgen bagi kita adalah subyek wacana bukan wacananya (orang yang berkata bukan apa yang dikatakannya), karena sesungguhnya ilmu menurut kita itu didasarkan pada kepercayaan bukan pada bukti.
Semua hal di atas berpangkal dari klaim bahwa ijtihad telah tertutup, padahal sebenarnya tidak dan belum pernah tertutup. Meski harus diakui kalau ijtihad yang ada pada saat ini belum bisa terlepas dari hegemoni pemikiran klasik. Sehingga walaupun dijumpai hasil-hasil ijtihad, maka hal itu tak lebih dari sebuah konstruksi-konstruksi apa-apa yang telah mapan pada masa-masa sebelumnya, dan belum sampai pada level tuntas, murni dengan menggunakan cara pandang dan paradigma yang relevan pada saat ini.
Kemudian yang ketiga adalah Tirani Pengetahuan. Tirani ini masih terkait erat dengan tirani pemikiran. Jika yang terjadi dalam tirani pemikiran adalah hegemoni otoritas klasik atas berbagai segi, maka tirani pengetahuan lebih menekankan pada aspek kesalahan berpikir yang dilakukan oleh para ulama saat ini atas al-Qur’an. Para ulama lebih terfokus pada pemahaman al-Qur’an dari sisi fenomena-fenomena keagamaan; seperti ibadah, muamalah dan ayat-ayat tentang hukum, namun jarang sekali membahas tentang tema-tema alam, eksistensi dan sejarah. Hal ini seolah memaksakan kita menamakan peradaban Arab dengan peradaban Fiqih, bahasa dan oral, bukan peradaban ilmu. Padahal jika diteliti, isi dari kandungan al-Qur’an, akan didapati –sebagaimana disebutkan oleh Harun Nasution- bahwa dari seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah 6.236, sekitar 76,65% atau 4.780 ayat tersebut diturunkan di Mekkah, sedangkan sisanya adalah di Madinah. Ayat-ayat Makkiyah lebih banyak memperbincangkan masalah keterangan tentang tuhan pencipta, pemilik alam semesta, keterangan baik dan buruk, politeisme dan lain-lain, sedangkan sisanya (23,35%) diturunkan di Madinah, yang banyak mengisahkan tatanan sosial masyarakat, hukum dan muamalat.
Tirani selanjutnya adalah Tirani Sosial. Tirani ini menampilkan aspek konflik antar generasi. ini diambil dari eksplorasi Syahrûr tentang ayat-ayat ashab kahfi. Asumsi yang ingin dibangun Syahrûr di sini adalah bahwa sebuah perangkat ataupun metodologi yang dipergunakan masa lalu tidaklah relevan dengan saat ini. Hal ini mengasumsikan dua hal, pertama bahwa, nalar zaman yang jauh secara jarak dan waktu, kedua eksistensi perubahan yang selalu menawarkan berbagai hal. Di sini Syahrûr mengajukan pertanyaan “mengapa ashab kahfi ketika dihidupkan kembali ke dunia kemudian meninggal lagi ?” dia menjawab karena mereka termasuk dalam kategori roj’iyyun (generasi terbelakang), sehingga walaupun mereka hidup dan berinteraksi dengan masyarakat pada saat mereka dihidupkan kembali, maka ia akan menjadi seorang yang kerdil dan tidak tahu apa-apa. Hal ini bagi Syahrûr sekaligus menjawab dan membantah pengandaian umat Islam “andaikan para sahabat dihadirkan (dihidupkan) kembali pada saat ini, maka mereka tentu akan dapat menyelesaikan konflik yang dialami umat Islam saat ini”. Dengan kata lain, bisa ditegaskan di sini, jika metode dan perangkat yang dipergunakan saat ini tetap mempergunakan metode abad II H, maka bisa dimaklumi jika metode tersebut mengalami goncangan dan tantangan terhadap modernitas.
Tirani yang kelima adalah Tirani Sosial-Politik. Dalam tirani ini pembahasan terfokus pada kajian tiga tokoh besar terdahulu yang dalam al-Qur’an kita kenal dengan sebutan Fir’aun, Haman dan Qarun pada zaman nabi Musa. Hal ini disinggung pula dalam bagian-bagian akhir buku ini. Dalam eksplorasi ini, Syahrûr menyatakan ketiganya memiliki spesifikasi kekuasaan masing-masing, Fir’aun merepresentasikan kekuasaan politik, Haman memegang kekuasaan religi dan Qarun sebagai pemilik modal (borjuis). Nah dalam tataran prakteknya –dan ini yang lebih membahayakan, Fir’aun berkoalisi dengan kedua penguasa tersebut dan dapat mengaturnya sesuai dengan keinginannya.
Dalam al-Qur’an kata Fir’aun disebutkan sebanyak 76 kali, dan tidak disebutkan dengan nama aslinya. Absennya nama asli tersebut, bagi Syahrûr, mengindikasikan bahwa siapapun yang melakukan hal serupa maka ia dapat dianalogikan sebagai Fir’aun. Dalam konteks ke-Indonesiaan –bila boleh di analogikan- kasus ini pernah terjadi pada rezim Orde Baru Soeharto, dimana ia bersekutu dengan militer dan membuat sebuah rezim totaliter, kemudian dalam pengaplikasiaannya pada masalah keagamaan ia mempunyai sebuah institusi yang bernama MUI (institusi ini bisa dikatakan Haman, dalam versi Syahrûrian), dan ia beserta keluarga dan kroninya juga menumpuk kekayaan sehingga harta menjadi terpusat pada perorangan (Qarun).
Tirani yang terakhir adalah tirani ekonomi. gambaran langsung dari tirani ini adalah mengenai fenomena Qarun, yang saat ini dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk korporasi-korporasi ataupun perbankan. Di Arab Saudi misalnya, terjadi monopoli petrolium, minyak dan lain sebagainya yang itu rata-rata dimiliki oleh para penguasa Saudi sendiri. Sehingga qarunisme merupakan gejala kapitalisme global yang menggurita, tidak terikat dengan kenegaraan tertentu ataupun warna tertentu.
Semua karakter tiranik ini sepenuhnya terjadi di dunia Arab khususnya dan pada dunia Islam umumnya. Terbersit pertanyaan mengenai bagaimana cara melepaskan diri dari simpul-simpul tirani yang begitu menghegemoni bahkan mendarah daging dalam diri kita?
Di sini Syahrûr berpendapat perlunya sebuah dekonstruksi atas pemahaman Islam yang ada pada saat ini. Pertama ia meniscayakan pemahaman bahwa Islam itu hanif (dalam pandangannya kata ini dimaknai dengan elastisitas Islam sesuai dengan ruang dan waktu). Kedua, Syahrûr membayangkan bahwa al-Qur'an itu diturunkan saat ini dan untuk masyarakat yang ada pada saat ini (kontemporer), yang tentunya dengan begitu meniscayakan pisau metodologi yang ada pada saat ini. Ketiga bahwa konstruksi konsep negara Islam perlu dibenahi, bahkan ia sendiri tidak setuju dengan adanya negara Islam (dalam hal ini Arab Saudi). Keempat, perlunya pengganti dari institusi tiran yang telah menggurita pada hampir seluruh negara Islam.
Buku ini menghadirkan sebuah perspektif tentang kemunduran ilmu-ilmu agama (ushuluddin) dengan menggunakan pendekatan sejarah. Pisau analisis yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan analisis paradigm shift, sebuah teori yang digagas oleh Thomas Kuhn. Rentetan analisis yang digunakan penulis buku ini mengenai pasang surut kajian ilmu ushuluddin pada masa awal Islam hingga saat ini memberikan kita suatu cakrawala yang integral dan komprehensif tentang wajah ilmu tersebut. Hal ini semakin menyadarkan kita pada dua hal, pertama, bahwa lahirnya suatu pemikiran apapun akan menemukan masa kemajuan dan kemundurannya masing-masing, tak terkecuali ilmu ushuluddin. Kedua, bahwa lahirnya suatu diskursus dipengaruhi oleh tali temali relasi kuasa dan pengetahuan, serta dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa saat itu. Dengan kata lain, sebuah diskursus akan lahir dan besar dengan dipelihara oleh suatu ideologi dominan yang dianut oleh penguasa. Membaca buku ini akan mengingatkan kita pernyataan Michel Foucault “Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri serta menciptakan rezim kebenaran sendiri.” Itulah yang terjadi dan disuguhkan secara tajam dalam buku ini.

Rabu, 24 November 2010

RENUNGAN BAGI GURU

Saifuddin Zuhri Qudsy

Di suatu pagi, seorang guru, sebut saja, Joko, sedang menyruput wedang kopi di depan rumahnya sembari membaca koran. Umurnya sudah cukup senja, 50 tahun. Wajahnya terlihat murung membaca berita-berita itu. Dia membaca berita si Gayus, muridnya yang dulu masih ingusan dan suka menyeka ilernya dengan tangan kanan, kini menjadi orang kondang karena masalah KKN. Sudah dibui masih juga jalan-jalan ke Bali, “Duh, apa yang salah dengan diriku, kok anak didikku berprilaku seperti itu,” batin si guru sambil garuk-garuk kepala. Dia mencoba membuka halaman 2 di koran itu, lagi-lagi dia dikagetkan dengan artikel berita berjudul: “Bahtiar Hamzah tersangkut korupsi pengadaan mesin jahit” lagi-lagi dia menggaruk kepalanya. “Weleh-weleh, muridku yang senior dan generasi pertama ini kok kena juga.” Di sampingnya berita itu juga tertulis judul berita “Bakrie tersangkut masalah pajak” dia bergumam: “Ealah, muridku yang satu ini, pinter di kelas, rajin, ternyata podo wae.”

Karena tidak tahan membaca berita-berita itu, dia pun kemudian membuka rubrik selebritis. Dia berpikir dengan membaca itu dia berharap sedikit terhibur. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika membuka rubrik yang dia inginkan itu sang guru mulia ini disodori berita “Krisdayanti selingkuh,” ya selingkuh dengan Raul Lemos. Mumet, pusing tujuh keliling melihat anak didiknya yang dia asuh dengan penuh pengertian dan harapan ternyata memiliki prilaku dan tingkah yang jauh dari yang dia inginkan. Bapak guru Joko menarik nafas panjang sembari mengangkat gelas kopi yang ada di sampingnya. Dia merenung lama seolah berpikir keras apa sih yang kurang dan yang salah dari para guru sehingga anak didiknya seperti ini? Guru yang di dahinya tampak dua tanda hitam bekas sujud itu berpikir “Apakah guru-guru ini salah karena terlalu mengedepankan ilmu pengetahuan dan mengesampingkan materi moralitas, akhlak, dan lain sebagainya?” “Apakah anak didik ini perlu dimondokkan?” “Tapi, bukannya para birokrat legislatif dan yudikatif yang dulu pernah menjadi anak didiknya banyak yang mondok ketika masa SMP dan SMAnya, tapi kenapa banyak di antara mereka yang tersangkut masalah korupsi?” dan tiba-tiba dia berteriak “Apa sih yang salah dengan kami ya Allah, sehingga mereka banyak yang menyimpang dari jalanmu ya Allah?!”

Teriakan keras itu membuat kaget istrinya, Wartinah: “Ono opo to pae, kok mbengok-mbengo dewe?” (Ada apa pak kok teriak-teriak sendiri). “Ngga’, ga ada apa-apa kok buk ne” jawabnya.

Sekali lagi dia membolak-balik koran yang ada di tangannya itu, seakan berharap ada berita yang mengenakkan dan mendinginkan hatinya. “Bibir TKW, Sumiati, dipotong.” “Astagfirullah, muridku yang satu ini kok ngenes temen yo, dulu cantik kok wajahnya sekarang amburadul kayak ini, Kok bisa pusat negara Islam, warganya melakukan perbuatan lalim seperti ini, berarti perjuangan Rasulullah di negara ini masih belum selesai!” teriaknya dalam hati.

Dia masih saja membuka halaman lain, seolah tidak puas dan mencari kabar yang mengenakkan hatinya, tapi alangkah kagetnya dia saat membaca berita kecil “sepasang pelajar bercinta di kebun jagung,” Astagfirullah, astagfirullah.... ucapnya setengah teriak. Dan tanpa sadar dia berteriak lebih keras lagi: “Apa yang salah dengan saya kok anak didik saya jadi begini...... apa salah kami.....!!!!”

“Prangg....,” piring yang dipegang Wartinah pecah jadi dua mendengar teriakan itu. Dengan setengah terhuyung-huyung dia lari ke suaminya yang tercinta itu dan berteriak: “Ono opo to pak!!”

Ngga’, ga ada apa-apa kok buk ne” jawabnya sambil mencampakkan koran yang dia pegang.

Luweh, sing penting aku ngajar!” batinnya, sembari pergi ke kamar mandi.