• RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Selasa, 22 Juli 2008

MELIHAT SYAHRÛR MEMBACA TIRANI DALAM ISLAM

Saat ini para cendekiawan mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Setidaknya ada dua kegelisahan yang bisa kita rangkum: pertama, problem modernitas. Poin pertama ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekonstruksi, bahkan pada saat-saat tertentu dekonstruksi, atas pemahaman yang telah dibawa semenjak abad VII M dan mengalami –meminjam istilah Arkoun- Taqdis al-ahkam (pensakralan hukum). Kedua, kesadaran internal muslim akan adanya anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks al-Qur’an, entah itu mengarah pada wilayah hukum (Fiqih), akidah, ataupun masalah-masalah yang berkait dengan IPTEK.
Dalam kaitannya dengan teks al-Qur’an, telah terjadi pembakuan-pembakuan atas adanya konsep muhkam mutasyabih, nasikh mansukh yang pada awalnya pembakuan tersebut tidaklah berawal dari ruang hampa, namun lebih dari itu, perdebatan teologis yang terjadi pada kurun waktu masa Dinasti Umayyah dan mulai dikodifikasikan pada masa Abbasiyah. Pembakuan ini terjadi secara tidak sadar dilakukan oleh umat Islam dengan melakukan penulisan-penulisan karya-karya yang relevan pada zaman tersebut yang di kemudian hari dikunyah oleh umat Islam secara taken for granted. Di sini tampak kelemahan umat Islam dalam absennya pisau analisis historis-sosiologis atas pembentukan tafsir atas wahyu al-Qur’an yang kental dengan perdebatan-perdebatan teologis antar aliran. Pengusungan teks lama pada masa sekarang telah menyebabkan pemasungan kreatifitas pikir yang pada akhirnya terjadi sakralisasi teks.
Di samping hal di atas, dalam dunia Islam telah terjadi pengkiblatan secara penuh akan kesadaran keislaman pada Arab, tradisi yang kita pakai saat ini lebih banyak terwarnai oleh Arab, jadilah kemudian seperti yang dikatakan Nasr Hamid Abû Zaid sebagai Arabisme.
***
Tulisan ini hendak menguraikan apakah maksud dari apa tirani itu (yang dalam konteks tulisan ini ditujukan pada buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama karya Dr. Muhyar Fanani), dan bagaimana konsep tirani tersebut? Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tirani dimaknai sebagai “Kekuasaan yang dipergunakan sewenang-wenang” atau “Suatu negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang suka bertindak sekehendak hatinya.” Itu makna literer dari tirani versi bahasa Indonesia.
Jika ditelaah secara seksama, dengan melihat pada referensi-referensi dan bahasa yang dipergunakan, buku ini mempergunakan istilah tirani versi Muhammad Syahrûr, seorang pemikir Islam yang sangat kontroversial di Syiria. Dalam bahasa Arab, kata ini menemukan padanannya dengan kata Istibdad. Syahrûr sendiri dalam berbicara masalah istibdad meminjam istilah dari Dr. Abdul Fatah Imam, dalam bukunya yang berjudul ath-Thagiyyah. Ide ini berangkat dari konklusi bahwa manusia sebenarnya mempunyai hak penuh atas dirinya (baca: tanpa intervensi Allah). Apa yang telah ada saat ini merupakan satu bentukan dari masa-masa lalu yang penuh dengan hiruk pikuk polemik politik. Dengan kata lain, gagasan tirani ini muncul karena melihat bahwa narasi-narasi besar mengenai dasar-dasar ilmu keagamaan ternyata dibentuk dan dibakukan di bawah rezim yang terkenal tiranik. Misalnya masa-masa tadwin yang terjadi pada masa-masa daulah Umayyah dan Abbasiyah dalam wilayah teologi dan fiqh.
Dalam hasil eksplorasinya, Syahrûr melihat tirani terjadi dalam enam ranah, akidah, pemikiran, pengetahuan, sosial, ekonomi-politik dan tirani ekonomi. Pada konsep yang pertama yakni tirani akidah. “Penyakit” terpenting dari tirani ini adalah sikap pasrah bahwa pekerjaan dan rizki serta umur itu telah ditetapkan semenjak zaman azali. Menurut Syahrûr, sikap atas ketiga hal ini harus diberanguskan dalam nalar pikir umat Islam. Sikap seperti ini menimbulkan ekses negatif yang amat parah dalam kehidupan manusia, dan dari sini pula terjadinya tirani besar-besaran dalam seluruh ranah kehidupan. So what? Syahrûr berpendapat bahwa Islam itu hanif (elastis), dalam artian bahwa Islam itu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Allah tidak menentukan secara saklek atas masalah pekerjaan rizki dan umur. Memang benar bahwa Allah menentukan baik dan buruk, hidup dan mati, akan tetapi ia menetapkan hal tersebut sebagai sesuatu yang eksis, universal, mujmal atau dalam contoh mudahnya adalah kebaikan sebagai ujung timur dan keburukan sebagai ujung barat, sedangkan di tengah-tengahnya itulah kreatifitas ijtihad manusia memainkan perannya. Sehingga jika melihat pada struktur komputer, kita memahami adanya dua komponen inti; ROM (Read Only Memory) dan RAM (Random Access Memory), yang dalam hal ini Syahrûr menyebut yang pertama sebagai Lauh Mahfudz (Hukum yang tertutup yang mencakup hukum-hukum umum yang mengatur eksistensi dan hukum-hukum sejarah) dan al-Imam al-Mubin (Hukum terbuka yang mencakup peristiwa-peristiwa alam yang bersifat pertikular dan peristiwa sejarah, dan hal-hal yang berlaku sesuai dengan hukum-hukum al-Lauh al-Mahfudz serta tidak bertentangan dengannya). Pada kedua Istilah komputer ini, yang pertama (ROM) merupakan sesuatu (program) yang sudah paten yang tidak bisa dibuka, dan tidak bisa berubah karena menjadi bagian inti tetap dalam komputer, sedangkan yang kedua (RAM) merupakan program yang masih bisa dibuka (diakses), yang berfungsi sebagai obyek aplikasi oleh para pengguna komputer.
Baik dan buruk, hidup dan mati merupakan bagian dari ROM sedangkan upaya manusia dalam mengatasi, memosisikan dimana ia akan memilih, maka ia masuk dalam ruang yang bisa diakses sesuka pengguna (RAM).
Tawaran Syahrûr ini bisa menjadi solusi atas polemik paham Jabariyah dan Mu’tazilah, jika dalam Jabariyah dikatakan klaim bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan sama sekali atas dirinya, sedangkan dalam Mu’tazilah manusia mempunyai hak kebebasan penuh, (antara stagnasi dan kebebasan berkreatifitas), sehingga aktifitas manusia yang diidealkan Syahrûr adalah “aktifitas dan stagnasi terjadi secara bersamaan dengan formulasi mutlak dan relevan dengan kehendak tuhan”.
Sedangkan yang kedua adalah Tirani Pemikiran termanifestasikan pada pola relasi antara guru dan murid yang secara umum –jika dilihat dari sekarang- semakin mengerucut pada pengkiblatan pada khazanah intelektual klasik yang telah terbakukan pada masa-masa Abbasiyah dengan mempergunakan justifikasi-justifikasi hadits, seperti justifikasi hadits tentang bahwa “Masa nabi dan sahabat dan kalangan sesudahnya merupakan masa yang terbaik (untuk dijadikan teladan).” Demikian pula termasuk dalam tirani ini statemen-statemen al-Ghazali, Ibnu Arabi dan lain-lain (tokoh-tokoh abad pertengahan). Semua hal ini termanifestasikan dalam statemen Syahrûr:
Tirani pemikiran, serta pandangan rendah diri ini telah merasuk dalam seluruh sendi kehidupan. Seorang murid menyerahkan pada gurunya untuk berpikir tentang dirinya. Sehingga metode pengajaran dan pendidikan dilihat dari perspektif edukatif tidak lebih dari sikap taklid buta atas nama “penghormatan”. Sedang dari perspektif pendidikan tidak lebih hanya sebuah pendiktean dari seorang guru kepada muridnya. Ujian-ujian hanya media untuk mengingat dan menghapal, bukan ujian dalam rangka pemahaman atas informasi serta cara menyikapinya, dengan mengenyampingkan bahwa sesungguhnya dasar dari pengajaran adalah mengajari manusia tentang bagaimana cara berpikir, metodenya serta pribadi yang mampu berpikir dan membuat hal baru. Awal kemalasan berpikir yang menimpa kita ini disebabkan oleh tirani ini, hal inilah yang menjadikan kita menyerahkan pada orang lain untuk memikirkan kita, dan kita mengambil pendapat mereka tanpa pengujian. Yang urgen bagi kita adalah subyek wacana bukan wacananya (orang yang berkata bukan apa yang dikatakannya), karena sesungguhnya ilmu menurut kita itu didasarkan pada kepercayaan bukan pada bukti.
Semua hal di atas berpangkal dari klaim bahwa ijtihad telah tertutup, padahal sebenarnya tidak dan belum pernah tertutup. Meski harus diakui kalau ijtihad yang ada pada saat ini belum bisa terlepas dari hegemoni pemikiran klasik. Sehingga walaupun dijumpai hasil-hasil ijtihad, maka hal itu tak lebih dari sebuah konstruksi-konstruksi apa-apa yang telah mapan pada masa-masa sebelumnya, dan belum sampai pada level tuntas, murni dengan menggunakan cara pandang dan paradigma yang relevan pada saat ini.
Kemudian yang ketiga adalah Tirani Pengetahuan. Tirani ini masih terkait erat dengan tirani pemikiran. Jika yang terjadi dalam tirani pemikiran adalah hegemoni otoritas klasik atas berbagai segi, maka tirani pengetahuan lebih menekankan pada aspek kesalahan berpikir yang dilakukan oleh para ulama saat ini atas al-Qur’an. Para ulama lebih terfokus pada pemahaman al-Qur’an dari sisi fenomena-fenomena keagamaan; seperti ibadah, muamalah dan ayat-ayat tentang hukum, namun jarang sekali membahas tentang tema-tema alam, eksistensi dan sejarah. Hal ini seolah memaksakan kita menamakan peradaban Arab dengan peradaban Fiqih, bahasa dan oral, bukan peradaban ilmu. Padahal jika diteliti, isi dari kandungan al-Qur’an, akan didapati –sebagaimana disebutkan oleh Harun Nasution- bahwa dari seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah 6.236, sekitar 76,65% atau 4.780 ayat tersebut diturunkan di Mekkah, sedangkan sisanya adalah di Madinah. Ayat-ayat Makkiyah lebih banyak memperbincangkan masalah keterangan tentang tuhan pencipta, pemilik alam semesta, keterangan baik dan buruk, politeisme dan lain-lain, sedangkan sisanya (23,35%) diturunkan di Madinah, yang banyak mengisahkan tatanan sosial masyarakat, hukum dan muamalat.
Tirani selanjutnya adalah Tirani Sosial. Tirani ini menampilkan aspek konflik antar generasi. ini diambil dari eksplorasi Syahrûr tentang ayat-ayat ashab kahfi. Asumsi yang ingin dibangun Syahrûr di sini adalah bahwa sebuah perangkat ataupun metodologi yang dipergunakan masa lalu tidaklah relevan dengan saat ini. Hal ini mengasumsikan dua hal, pertama bahwa, nalar zaman yang jauh secara jarak dan waktu, kedua eksistensi perubahan yang selalu menawarkan berbagai hal. Di sini Syahrûr mengajukan pertanyaan “mengapa ashab kahfi ketika dihidupkan kembali ke dunia kemudian meninggal lagi ?” dia menjawab karena mereka termasuk dalam kategori roj’iyyun (generasi terbelakang), sehingga walaupun mereka hidup dan berinteraksi dengan masyarakat pada saat mereka dihidupkan kembali, maka ia akan menjadi seorang yang kerdil dan tidak tahu apa-apa. Hal ini bagi Syahrûr sekaligus menjawab dan membantah pengandaian umat Islam “andaikan para sahabat dihadirkan (dihidupkan) kembali pada saat ini, maka mereka tentu akan dapat menyelesaikan konflik yang dialami umat Islam saat ini”. Dengan kata lain, bisa ditegaskan di sini, jika metode dan perangkat yang dipergunakan saat ini tetap mempergunakan metode abad II H, maka bisa dimaklumi jika metode tersebut mengalami goncangan dan tantangan terhadap modernitas.
Tirani yang kelima adalah Tirani Sosial-Politik. Dalam tirani ini pembahasan terfokus pada kajian tiga tokoh besar terdahulu yang dalam al-Qur’an kita kenal dengan sebutan Fir’aun, Haman dan Qarun pada zaman nabi Musa. Hal ini disinggung pula dalam bagian-bagian akhir buku ini. Dalam eksplorasi ini, Syahrûr menyatakan ketiganya memiliki spesifikasi kekuasaan masing-masing, Fir’aun merepresentasikan kekuasaan politik, Haman memegang kekuasaan religi dan Qarun sebagai pemilik modal (borjuis). Nah dalam tataran prakteknya –dan ini yang lebih membahayakan, Fir’aun berkoalisi dengan kedua penguasa tersebut dan dapat mengaturnya sesuai dengan keinginannya.
Dalam al-Qur’an kata Fir’aun disebutkan sebanyak 76 kali, dan tidak disebutkan dengan nama aslinya. Absennya nama asli tersebut, bagi Syahrûr, mengindikasikan bahwa siapapun yang melakukan hal serupa maka ia dapat dianalogikan sebagai Fir’aun. Dalam konteks ke-Indonesiaan –bila boleh di analogikan- kasus ini pernah terjadi pada rezim Orde Baru Soeharto, dimana ia bersekutu dengan militer dan membuat sebuah rezim totaliter, kemudian dalam pengaplikasiaannya pada masalah keagamaan ia mempunyai sebuah institusi yang bernama MUI (institusi ini bisa dikatakan Haman, dalam versi Syahrûrian), dan ia beserta keluarga dan kroninya juga menumpuk kekayaan sehingga harta menjadi terpusat pada perorangan (Qarun).
Tirani yang terakhir adalah tirani ekonomi. gambaran langsung dari tirani ini adalah mengenai fenomena Qarun, yang saat ini dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk korporasi-korporasi ataupun perbankan. Di Arab Saudi misalnya, terjadi monopoli petrolium, minyak dan lain sebagainya yang itu rata-rata dimiliki oleh para penguasa Saudi sendiri. Sehingga qarunisme merupakan gejala kapitalisme global yang menggurita, tidak terikat dengan kenegaraan tertentu ataupun warna tertentu.
Semua karakter tiranik ini sepenuhnya terjadi di dunia Arab khususnya dan pada dunia Islam umumnya. Terbersit pertanyaan mengenai bagaimana cara melepaskan diri dari simpul-simpul tirani yang begitu menghegemoni bahkan mendarah daging dalam diri kita?
Di sini Syahrûr berpendapat perlunya sebuah dekonstruksi atas pemahaman Islam yang ada pada saat ini. Pertama ia meniscayakan pemahaman bahwa Islam itu hanif (dalam pandangannya kata ini dimaknai dengan elastisitas Islam sesuai dengan ruang dan waktu). Kedua, Syahrûr membayangkan bahwa al-Qur'an itu diturunkan saat ini dan untuk masyarakat yang ada pada saat ini (kontemporer), yang tentunya dengan begitu meniscayakan pisau metodologi yang ada pada saat ini. Ketiga bahwa konstruksi konsep negara Islam perlu dibenahi, bahkan ia sendiri tidak setuju dengan adanya negara Islam (dalam hal ini Arab Saudi). Keempat, perlunya pengganti dari institusi tiran yang telah menggurita pada hampir seluruh negara Islam.
Buku karya Muhyar ini menghadirkan sebuah perspektif tentang kemunduran ilmu-ilmu agama (ushuluddin) dengan menggunakan pendekatan sejarah. Pisau analisis yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan analisis paradigm shift, sebuah teori yang digagas oleh Thomas Kuhn. Rentetan analisis yang digunakan penulis buku ini mengenai pasang surut kajian ilmu ushuluddin pada masa awal Islam hingga saat ini memberikan kita suatu cakrawala yang integral dan komprehensif tentang wajah ilmu tersebut. Hal ini semakin menyadarkan kita pada dua hal, pertama, bahwa lahirnya suatu pemikiran apapun akan menemukan masa kemajuan dan kemundurannya masing-masing, tak terkecuali ilmu ushuluddin. Kedua, bahwa lahirnya suatu diskursus dipengaruhi oleh tali temali relasi kuasa dan pengetahuan, serta dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa saat itu. Dengan kata lain, sebuah diskursus akan lahir dan besar dengan dipelihara oleh suatu ideologi dominan yang dianut oleh penguasa. Membaca buku ini akan mengingatkan kita pernyataan Michel Foucault “Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri serta menciptakan rezim kebenaran sendiri.” Itulah yang terjadi dan disuguhkan secara tajam dalam buku ini.

Tulisan ini bisa dibaca edisi cetaknya dalam pengantar Buku Dr. Muhyar Fanani, Pudarnya Pesona Ilmu Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

0 komentar: