• RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Senin, 28 Juli 2008

KONSTRUKSI NALAR (HERMENEUTIKA)

KONSTRUKSI NALAR (HERMENEUTIKA)[1]
NEO-MODERNISME FAZLURRAHMAN
Saifuddin Zuhri Qudsy

Dalam sejarah Islam tidak diketahui dengan pasti kapan tahun persis lahirnya neo-modernisme. Namun yang jelas –sebagaimana diungkapkan oleh Fazlurrahman dan dikutip ulang oleh M. Azhar- lahirnya aliran ini dilatarbelakangi oleh tiga gerakan pemikiran sebelumnya. Pertama Revivalisme Pramodern, yang ada pada abad XVIII dan XIX di Arabia, India dan Afrika. Ciri-cirinya antara lain keprihatinan atas degenarasi sosio-moral umat, himbauan untuk kembali pada Islam sejati dengan mengenyahkan bentuk-bentuk takhayul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab hukum serta mengibarkan ijtihad; himbauan untuk mengenyahkan predeterministik; serta himbauan melakukan pembaruan, meski jika perlu dengan senjata. Kedua, gerakan di atas diambil alih oleh Modernisme Klasik pada abad XIX-XX di bawah pengaruh serta ide-ide Barat. Perluasannya antara lain tentang perluasan terhadap “isi” ijtihad, seperti isu hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya masalah peranan wanita, pendidikan, pembaruan politik dan pemerintahan.[2] Ketiga Neo-Revivalisme yang sebenarnya merupakan antitesis atas Modernisme Klasik karena usahanya untuk beda dari barat. Di sini mereka tidak mengembangkan metodologi apapun selain upaya membedakan diri dari barat.
Gambaran singkat mengenai latar belakang munculnya neo-modernisme menandakan bahwa setiap aliran lahir dari pergulatan dialektika yang muncul dalam lapangan historis suatu masa. Neo-modernisme, misalnya, lahir dari kekalutan sekelompok orang yang jenuh, merasa tidak at home dengan dunia neo-revivalisme yang lagi relevan untuk dunia kontemporer saat ini.[3]
Nah, dalam kondisi seperti ini Fazlurrahman –sebagai pelopor neo-modernisme- memandang perlunya kembali kepada khazanah Islam klasik dengan semangat kekinian. Tradisionalisme Islam –sebagai hasil pergulatan dialektis modernisme klasik- memang cenderung normatif-dogmatis pada abad pertengahan. Namun modernisme klasik yang telah berhasil menampilkan wajah faktual Islam masih cenderung lemah dalam aspek metodologi agama serta tidak memiliki basis epistemologi yang komprehensif. Neo-modernisme berupaya untuk kritis atas barat serta atas warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Di sini kemudian signifikansi neo-modernisme; menjembatani tradisionalisme dengan modernisme.[4]
Tulisan berikut akan memaparkan mengenai perkembangan pemikiran sang tokoh neo-modernisme Fazlurrahman yang terbagi setidaknya pada tiga periode: periode 50-an yang secara umum kajiannya masih bersifat historis, kedua periode Pakistan (60-an), masih bersifat normatif dan belum memiliki metode sistematis, dan ketiga periode Chicago, yang telah memiliki metode yang sistematis.[5]
Pada periode pertama, Fazlurrahman masih dalam proses belajar untuk memahami konstruksi Islam dan belum menuliskan ide-idenya secara sistematik. Hal ini dikarenakan pada masa ini, ia masih tekun mengikuti perkuliahan-perkuliahan dan masih dalam proses pensistematisasian pemikirannya. Sedangkan pada periode kedua, yakni masa ketika ia kembali ke Pakistan. Pakistan sebagaimana telah diketahui warna pemikiran dan corak Islam pada waktu itu masih didominasi oleh warna fundamentalisme, sehingga ia harus menyesuaikan keadaannya dengan kondisi yang ada. Meskipun ia ditunjuk oleh Ayyub Khan (seorang Presiden Pakistan yang modernis) sebagai ketua lembaga riset Islam, namun harus diakui bahwa golongan bawah (grassroot) masih kental corak fundamentalismenya. Namun kendati demikian, ia tetap mempunyai obsesi yang besar dengan melatih serta menghimpun sumber daya manusia yang memadai yang berpikiran kreatif dan inovatif. Hal ini mencapai puncaknya pada paruh kedua dari periode kedua ini, yakni upaya-upaya besarnya untuk mengadakan pencerahan atas umat Islam (wenstanchaung) dengan menelorkan ide-ide yang mendasarkan pada nilai-nilai substansif ajaran Islam bukan pada verbalitasnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang fundamentalis. Konstruksi seperti ini lebih mengedepankan “isi” daripada “bentuk” lebih pada ideal-moral daripada legal-formal. Salah satu gagasan-gagasan segarnya pada waktu itu adalah, penghalalan bunga bank, penyembelihan hewan secara mekanik, penolakan poligami, al-Qur'an adalah sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan moral bukan sebuah dokumen hukum, serta perlunya umat Islam untuk menangkap kembali esensi al-Qur'an dengan pendekatan struktural, yakni dengan melihatnya sebagai keutuhan bukan terpenggal-penggal, dan lain sebagainya.
Sebagai akibat dari pemikiran ini, berbagai cercaan dan kecaman bahkan fatwa hukuman mati terhadapnya bermunculan dari golongan fundamentalis semisal al-Maududi. Hal ini kemudian memaksanya untuk hengkang dari Pakistan menuju Chichago USA. Di sini kemudian dimulai periode selanjutnya.
Pada periode ketiga Fazlurrahman mulai mengadakan sistematisasi dan mulai menulis buku –bukan artikel lagi- mengenai tema-tema pokok al-Qur'an, sebagai realisasi dari konstruksi teori yang disebutnya sebagai Double Movement. Kemudian ia juga menulis tentang konsep sunnah, ijtihad bahkan konsep Etika Islam.

Konstruksi Hermeneutika Fazlurrahman
Dalam Tema-Tema Pokok Al-Qur'an, misalnya, Fazlurrahman mengatakan tentang mendesaknya kebutuhan umat Islam untuk mengembangkan sebuah teori hermeneutika yang akan membantu mereka untuk memahami al-Qur'an secara utuh. Sehingga bagian-bagian teologis ataupun etis serta etika legal al-Qur'an menjadi suatu kebutuhan yang padu. Dengan demikian akan terbangun suatu weltanschauung al-Qur'an.[6] Proses hermeneutika Fazlurrahman sebenarnya amat dipengaruhi oleh konsepsinya tentang wahyu dan al-Qur'an. Konsepsi-konsepsi tersebut antara lain:
Pertama, al-Qur'an merupakan kalam Allah sekaligus –dalam pengertian biasa- kata-kata Muhammad. Wahyu al-Qur'an merupakan respon ilahi melalui pikiran nabi terhadap situasi-situasi sosio moral dan historis masa nabi. [7]
Kedua, al-Qur'an merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Yakni bahwa pemahaman pasti terhadap al-Qur'an tidaklah didasarkan pada pemahaman al-Qur'an yang terpisah, namun secara keseluruhan, sebagai set prinsip atau nilai yang koheren.[8]
Ketiga, Elan dasar al-Qur'an adalah moral, bukan hukum.[9]
Keempat, al-Qur'an adalah dokumen yang diperuntukkan bagi manusia bukan bagi tuhan. Ia adalah hudan li an-naas.[10]
Konsepsi-konsepsi ini –menurut Muhammad Nur Ichwan-, ia wujudkan pada teori Double Movementnya -atau dalam istilah Indonesia di kenal dengan teori “Bolak-Balik”- dan metode Sintetik-Logik.[11]

Double Movement
“Dari situasi masa kini, ke masa al-Qur'an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini”

Inilah perkataan puitis Fazlurrahman dalam mengungkapkan Double Movement-nya dalam penafsiran al-Qur'an. Metode ini diaplikasikan dalam ayat-ayat sosial dan kemanusiaan, baik berkait dengan masalah hukum, politik, ekonomi dan lain-lain. Setidaknya penjelasannya adalah sebagai berikut: Gerak Pertama (dari situasi kini ke masa al-Qur'an) terdiri dari dua langkah; pertama, Melakukan tahap pemahaman tekstual al-Qur'an dan konteks sosio historis ayat-ayatnya (task of understanding). Langkah ini mensyaratkan adanya pemahaman secara makro mengenai situasi kehidupan arabia baik sisi kehadiran Islam di Mekkah, adat istiadat ataupun masyarakatnya. Langkah kedua melakukan generalisasi. Pada tahap ini perlu dilakukan upaya generasasi atas jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio legis yang sering dinyatakan. Yang perlu di perhatikan di sini adalah bahwa selama proses ini perhatian harus diberikan ke arah ajaran al-Qur'an, sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum, yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya.
Sedangkan Gerak Kedua (dari masa al-Qur'an diturunkan ke masa kini). Dalam bahasa mudahnya adalah bagaimana membumikan sebuah tujuan ayat al-Qur'an yang pada masa diturunkan berlaku secara spesifik ke dalam konteks kekinian. Tentunya hal ini dengan berupaya memahami pesan moral yang tertuang dalam ayat al-Qur'an tersebut. Sehingga terjadi penubuhan sebuah tujuan ayat pada konteks sosio historis masa sekarang. Namun di sini Fazlurrahman menekankan pula pentingnya koreksi atas penafsiran pemahaman pertama. Dengan demikian jika pemahaman pada gerakan pertama gagal diaplikasikan pada pemahaman gerakan kedua maka tentunya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi masa kini atau kegagalan dalam memahami al-Qur'an.

Sintetik-Logik
Metode ini diaplikasikan dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah teologi, eskatologi dan metafisik. Dalam metode ini Fazlurrahman membiarkan al-Qur'an berbicara sendiri. Sedangkan penafsiran hanya dipergunakan untuk membuat hubungan antara konsep-konsep yang berbeda. Caranya ialah dengan mensintesakan berbagai tema (tentang Tuhan dan Metafisika) lebih secara logik daripada secara kronologik. Menurutnya, metode ini lebih tepat dan lebih mendekati pada kebenaran.

Fazlurrahman: Sebuah Catatan
Konstruksi hermeneutika yang ditawarkan oleh Fazlurrahman –sebagaimana yang telah dipaparkan di atas-, terpengaruh oleh background kehidupannya yang hidup dalam tradisi madzhab Hanafiyah. Mazhab yang disebutkan terakhir ini banyak melakukan proses rasionalisasi atas suatu bentuk penafsiran[12]. Tradisi Hanafiyah ini, cenderung mengdepankan al-Qur'an daripada hadits. Hal di atas berpengaruh pula pada diri Fazlurrahman dalam kaitannya pengambilan sumber hukum dari hadits, di mana pada sumber ini, ia banyak melakukan pemilahan definisi atasnya.[13]
Kemudian dalam masalah pengambilan sumber hermeneutika, ia banyak mengadopsinya dari para pengkaji barat seperti Emilio Betti -yang berpengaruh besar dalam konstruksi Double Movement-nya-, yang menyatakan bahwa proses pemahaman (baca: hermeneutik) adalah suatu kebalikan dari proses penciptaan yang asal. Bentuk-bentuk yang dicoba untuk dipahami harus dibawa pada pikiran yang menciptakannya. Hal ini untuk menghindari pemahaman yang superfisial dan terpenggal-penggal. Di sini Rahman, dalam upaya membawa pada pikiran yang menciptakannya, mengemukakan asbab nuzul untuk mengetahuinya.
Mengenai konsepsi-konsepsi serta penafsiran Fazlurrahman atas realitas serta manusia misalnya, dimana Rahman menempatkan manusia dalam posisi sentral, Rahman terjebak pada pola antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai segala-galanya. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Mukti Ali dengan pernyataannya, “karena manusia ditempatkan secara sentral, maka Fazlurrahman berpendapat bahwa tuhan adalah “kemauan” dan kekuatan, tuhan adalah pesona bukan individu. Karena itu ia menekankan kodrat manusia. Tuhan memang menciptakan alam, alam diberi potensi untuk berkembang. Jadi perkembangan alam itu bukanlah ulah manusia, sehingga tidak heran jika konsep ketuhanannya seperti tukang membikin jam, yang dila dilengkapi mesin maka jam tersebut akan berjalan.[14] Sehingga Manusia “mengerti” Islam, namun tidak merasakannya, manusia “paham” Islam, namun tidak “menikmatinya”.[15] Wallahu a’lam bissawab



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Prof. Dr. Mukti, Fazlurrahman tentang Konsep al-Qur'an tentang Allah, Manusia dan Alam Semesta, makalah seminar sehari, Jakarta: LSAF, 1988.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung, 1992.
Azhar, Muhammad, Fiqih Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar 1996.
Fazlurrahman, Cita-Cita Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.
------------------, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, Bandung; Pustaka, 1985.
-----------------, Islam, Bandung; Pustaka, 1985.
-----------------, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung, Pustaka, 1992.
--------------------, Menafsirkan al-Qur'an, dalam Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, Bandung: Mizan, 1990.
-----------------, Tema-Tema Pokok al-Qur'an, Bandung; Pustaka, 1985.
Hardiman, Franscisco Budi, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Kanisius, 1990.
Ichwan, Muhammad Nur, Hermeneutika al-Qur'an, Analisis Peta Perkembangan Metodologi tafsir al-Qur'an Kontemporer, Skripsi pada Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995.
Nasution, Prof. Dr. Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
---------------------------------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, Jakarta: UIP, 1987.
Zaman, Ali Noer (ed), Agama untuk Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.










[1] Kami sebutkan kata Hermeneutika di sini, dikarenakan bagaimanapun konsep serta tawaran Neo-modernisme Fazlurrahman tidak bisa dilepaskan dari metode hermeneutik yang ditawarkannya. Menurut kami, justru dari konsep hermeneutiknya inilah konstruksi Neo-modernisme menjadi jelas.
[2] Muhammad Azhar, Fiqih Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996), hal 28. ketiga aliran sebelum Neo-modernisme ini jika dilihat dari perspektif klasifikasi Prof. Dr. Harun Nasution, maka ketiganya masuk dalam klasifikasi zaman Modern, yang setidaknya mempunyai ciri khas yang sama dengan yang disebutkan diatas. Lihat, Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 14.
[3] Untuk memahami konsep dialektis tentang tali-temali lahirnya suatu ideology atau aliran tertentu lihat, Franscisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
[4] Fazlurrahman, Cita-Cita Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), hal 103
[5] Opcit, hal. 39.
[6] Fazlurrahman, Tema-Tema Pokok al-Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 204.
[7] Fazlurrahman, Menafsirkan al-Qur'an, dalam Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 6.
[8] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 27-28.
[9] Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 43.
[10] Fazlurrahman, Tema-Tema Pokok al-Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 54.
[11] Muhammad Nur Ichwan, Hermeneutika al-Qur'an, Analisis Peta Perkembangan Metodologi tafsir al-Qur'an Kontemporer, Skripsi pada Fak. Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995, hal 77.
[12] Jika ditilik lebih jauh, maka sebenarnya madzhab ini berakar dari sebuah aliran yang bernama Madzhab Umari; aliran yang seringkali memusatkan perhatian pada al-Qur'an dan sering mengabaikan yang lain. Untuk keterangan lebih lanjut, Lihat. Jalaluddin Rakhmat, dalam pendahuluan atas buku karya Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 16-32.
[13] Lihat lebih jauh dalam Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1992).
[14] Prof. Dr. Mukti Ali, Fazlurrahman tentang Konsep al-Qur'an tentang Allah, Manusia dan Alam Semesta, makalah seminar sehari, (Jakarta: LSAF, 1988), hlm. 28. Rahman menyatakan pula bahwa manusia harus mencari jalan tengah antara paham Qadariyah dan Jabariyah. Namun kesan yang timbul dalam memahami Rahman adalah bahwa pahamnya adalah Qadariyah.
[15] Ibid. hlm. 30.

0 komentar: